Saturday, December 27, 2014

Geodet di Tengah Bencana Longsor Banjarnegara


Tak pernah saya duga sebelumnya saya bisa ikut terlibat dalam tim pemetaan wilayah longsor Banjar Negara, Jawa Tengah. Bagi saya, ini merupakan kenaikan kelas dalam tahapan pemetaan. Memetakan wilayah longsor tentu saja akan sangat berbeda dengan melakukan pemetaan untuk membantu skripsi senior ataupun melakukan pemetaan untuk praktikum dikampus.
Pengalaman ini diawali dari dimintanya Tim dari Teknik Geodesi UGM untuk membantu dalam melakukan mitigasi bencana di wilayah bencana longsor Banjar Negara. Lalu bagaimana saya bisa bergabung dengan Tim ini?? Bisa dibilang saya hanya beruntung lalu bisa ikut pemetaan, atau bisa juga dibilang karena punya banyak teman, mungkin juga karena rajin mempublikasikan diri lewat tulisan di blog. Selasa, 16  Desember 2014 saya mendapat pesan singkat dari teman saya, Bondan, yang isinya berisi ajakan untuk  berangkat ke Banjar Negara untuk melakukan pemetaan di wilayah Longsor dan keputusan ikut atau tidak harus diputuskan saat itu juga karena besoknya sudah harus berangkat. Sebenarnya agak bingung juga saat itu harus berangkat atau tidak, besoknya hari Rabu merupakan hari raya Galungan bagi umat Hindu, kalau di Bali semua umat Hindu akan disibukkan dengan serangkaian acara persembahyangan di Pura. Namun setelah dipikir-pikir,kesempatan melakukan pemetaan di wilayah longsor rasanya tidak sering ada dan bisa didapatkan, akhirnya saya putuskan untuk ikut bergabung dalam Tim Pemetaan ini. Saya bukanlah seorang yang ahli dalam pemetaan dibidang bencana alam, bukan orang yang sering melakukan kajian tentang longsor, tapi kenapa Bondan memutuskan mengajak saya? Menurut saya itu karena bagaimana saya menajaga hubungan baik dengan banyak teman dan menunjukkan sikap bisa dipercaya selama dalam pergaulan dikampus.
Bagaimana caranya memetakan wilayah yang sudah terkena longor dan akses jalannya sudah banyak yang rusak? Alat apa yang harus digunakan? 2 Pertanyaan tersebut yang saya pikirkan sesaat setelah memustuskan untuk ikut bergabung kedalam Tim, ternyata Bondanpun masih belum jelas seperti apa nanti proses pemetaannya, karena ternyata dia baru saja juga ditelpon oleh dosen dan diminta bantuannya untuk ikut membantu besok melakukan pemetaan. 2 pertanyaan tadi akhirnya terjawab ketika saya mengikuti brifing keesokan harinya. Pemetaan diwilayah longsor dilakukan dengan menggunakan pesawat tanpa awak (UAV) yang kemudian akan menghasilkan foto udara. Nah foto udara yang dihasilkan memerlukan titik kontrol tanah  atau Ground Control Point (GCP) agar dapat foto yang dihasilkan dapat diolah dan ditampilkan dalam bentuk 3 dimensi. GCP ini diukur dengan menggunakan GPS type Geodetik, dan hasil akhirnya berupa koordinat. Jika kamu mahasiswa Geodesi yang sudah mengambil materi Fotogrametri atau penginderaan jauh, pasti sudah pernah melakukan yang namanya rectifikasi citra, nah dalam rectifikasi citra image to map, akan memerlukan koordinat titik GCP. Biasanya waktu mengajar inderaja dasar ke Diploma 3 saya selalu mengatakan  kalau  mengukur GCP yang benar itu sebaiknya menggunakan GPS yang memiliki ketelitian tinggi. Itu teorinya, tapi saya juga belum pernah melakukannya.

Pada saat brifing
 Nah disinilah tugas saya kali ini, menerapkan teori tersebut, mengukur koordinat GCP dengan menggunakan GPS Geodetic. Bagi saya kepuasan belajar itu berada ketika ilmu teori yang disampaikan dikelas, bisa diterapkan di dunia nyata.
Sebenarnya saya baru saja mengambil mata kuliah GNSS, belum pernah saya melakukan pengukuran menggunakan GPS diluar kampus. Tapi saya yakin bekal kuliah GNSS di Geodesi UGM, sudah cukup untuk saya melakukan pengukuran di Banjar Negara.  Ada 5 GPS Geodetic yang akan dipakai masing-masing alat dipegang oleh 1 orang, jadi saya juga kebagian 1 alat. Dalam tim kali ini terdiri dari 9 orang, tim dipimpin oleh Bapak Ruli Andaru, dosen saya, kemudian ada juga koordiantor tim GPS Bapak Iqbal Taftazani yang juga dosen saya, dan tentunya ada tim yang mengukur menggunakan GPS yang semuanya mahasiswa yakni Mas Afradon (Geodesi 2010), Bondan Galih (Geodesi 2012), Kevin Alkindi (Geodesi 2012) dan saya tentunya, serta ada 2 lagi 2 orang rekan pak Ruli yang akan membantu dalam menerbangkan pesawat, dan ditambah lagi Pak Wahyudi, driver handal dari dijurusan Geodesi J
Rabu sore sekitar jam 4 akhirnya brifing seleai dilakukan, alat juga sudah dicek semua. Ada sedikit perubahan jadwal keberangkatan, keberangkatan diundur menjadi hari Kamis, namun berangatnya jam 3 dini hari. Esoknya benar saja jam 3 pagi, dengan sedikit terkantuk-kantuk, saya sudah berada di mobil jurusan menuju ke Banjar Negara. Untuk sampai ke Banjar Negara perlu waktu sekitar 4 jam dari Jogja. Tidur kembali di mobil sepertinya menjadi pilihan yang tepat J. Akhirnya sekitar jam 8.30 tim sampai di lokasi longsor, sedikit molor karena paginya tentu sarapan dulu, dan sedikit nyasar karena navigator mobilnya sempat ketiduran. Sampai dilokasi longsor, sudah terlihat banyak banayk sekali polisi, tentara serta relawan yang berada disana. Tidak semua masyarakat boleh masuk kelokasi bencana, untung tim dari Geodesi UGM sudah membawa “surat sakti” dari UGM, cukup mengatakan dari Geodesi UGM dan menunjukkan suratnya, semua wilayah bisa diakses.
Kondisi Longsor Banjar Negara

Tak berlama-lama, begitu sudah berada dilokasi tim langsung menuju titik yang sudah direncanakan sebelumnya untuk dijadikan GCP. Ada sedikit perubahan beberapa titik GCP karena lokasi yang sulit diakses. Saya mendapat lokasi yang menurut saya sedikit kurang menantang, saya mengukur didepan posko penampungan makanan , alhasil saya mengukur malah bisa sambil minum susu ditemani beberapa tentara yang sedang berjaga diposko. Pengukuran menggunakan GPS dilakukan selama 1 jam, metode  pengukuran yang digunakan yakni metode statik. Jadi receiver hanya diam disatu titik tanpa perlu berpindah. Setelah meakukan setting alat, mengukur tinggi GPS, tinggal dinyalakan pengukuran sudah bisa dilakukan.
GPS Geodetic

Titik yang saya ukur berada tepat di pinggir jalan, agak was-was juga karena banyak kendaran yang lewat, alat pada saat mengukur harus tetap dalam keadaan diam, dan tidak boleh bergerser. Jadi benar-benar harus dipantau, terutama ketika ada mobil lewat yang mepet-mepet lepinggir jalan, maklum harga GPS Geodetic bisa seharga mobil avansa, jadi dari pada terjadi sesuatu yangtidak diinginkan lebih baik diawasi dengan teliti. Menunggu 1 jam sepertinya begitu cepat karena saya ditemani ngorol oleh Tentara yang berjaga di posko. Rupanya dia tertarik dengan GPS yang saya bawa karena sebelumnya beliau pernah melakukan pengukuran dengan Teodolit yang statifnya katanya mirip seperti yang saya bawa J . Akhirnya 1 jam disana saya habiskan dengan menjelaskan apa itu GPS, mulai dari sejarahnya untuk kepentingan militer Amerika, sampai munculnya GNSS dan sampai pula kepengukuran static.
Akhirnya 1 jam berakhir, sorenya saya akan melakukan pengukuran di 1 titik lagi. Namun sayang sekali cuaca disore hari tidak mendukung, hujan yang cukup deras disertai petir. Namun tim masih belum menyerah, dengan jas ujan, kami melewati jalan yang sudah digenangi air lengkap dengan lumpur akibat longsoran menuju ketitik yang berada didekat lokasi longor. Namun sayang jalan menuju titik GCP terhalang oleh sungai yang mererobos kejalan, sehingga titik tidak bisa dijangkau. Sempat menunggu beberapa saat, namun arus sungai malah semakin deras. Dan celakanya, Kevin dan Pak Wahyudi masih berada di seberang sungai. Karena cuaca semakin tidak mendukung, akhirnya tim memutuskan balik ke penginapan dan Kevin serta Pak Wahyudi dijemput menggunakan mobil dengan mencari jalan alternative lain, yang jaraknya cukup jauh dan memerlukan waktu 2 jam untuk kesana.
Jalan yang terpotong oleh sungai

Keesokan harinya jam 7 pagi tim sudah berangkat kembali ke lokasi longsor, kali ini saya mendapat lokasi titik yang cukup menantang yakni berada diseberang sungai yang kemarin, dan dekat dengan bencana longsor. Saku celana depan berisi GPS Handheld, saku kiri berisi HT serta paku payung, saku belakang berisi air minum dan surat sakti, lengkap membawa GPS dan Premark, peralatan sudah lengkap semua, saya bersama Pak Ruli serta Pak Iqbal menuju ke titik yang sama. Sayang sekali sungai yang kemarin ternyata masih deras, namun titik yang diseberang harus diukur. Cara menyebrangi sungai inilah yang paling mengesankan,untung ada bantuan kopasus, perhatikan foto dibawah ini :
Trnasportasi kalau sedang terjadi bencana.



Begitulah cara melewati jalan yang sudah ditutupi sungai, cukup menantang J .Akhirnya semua titik sudah diukur dan dipasangi Premark, pesawat pun mulai mengudara, saya hanya menyaksikan dari bawah. Setelah beberapa lama, cuaca kembali tidak bersahabat karena banyak awan yang menutupi, sampai akhirnya penerbangan pesawat harus dilanjutkan esok hari. Sore itu juga tugas saya mengukur GCP sudah selesai jadi untuk besok saya tidak ikut lagi, saya bersama Bondan, Kevin, Mas Adon serta Pak Iqbal kembali menuju Jogja, Pak Ruli dan tim pesawa UAV masih standby dilokasi longsor untuk melakkan pengukuran esok hari.
Berikut hasil olahan data yang sudah dihasilkan dari pengukuran kemarin yang sudah diolah oleh dosen saya.






Pengalaman pemetaan kali ini sungguh mengesankan. Menerapkan ilmu Geodesi untuk misi kemanusiaan adalah pengalaman yang jarang saya dapat. Semoga bisa menginspirasi.

Pesawat UAV


Bersama tim geodesi UGM



 

Best Regards

Made Sapta – Geodesi UGM 2012

Tuesday, December 16, 2014

Pengolahan Data Multibeam Echosounder dengan MBES System


Pernah mendengar Multibeam Echosounder? Bagi mahasiswa Teknik Geodesi yang sudah mengambil mata kuliah survey hidrografi atau Oseanografi Fisis seharusnya sudah tahu apa itu Multibeam Echosounder. Multibeam Echosouder adalah alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran kedalaman dan pemetaan dasar laut. Prinsip kerjanya yakni kedalaman dasar laut bisa diperoleh dengan memantulkan Gelombang Akustik kedasar laut, kemudian gelombang akustik akan dipantulkan kembali ke sensor yang ada dikapal sehingga nanti bisa dihitung nilai kedalamannya dan dibuat model dasar lautnya.
Beberapa waktu lalu saya sempat terlibat dalam pengukuran kedalaman di Waduk Sermo dengan Singlebeam Echosounder, bedanya singlebeam echosounder dengan multibeam echosounder yakni singlebeam hanya memancarkan 1 gelombang akustik untuk memperoleh data kedalam, sedangkan multibeam echosounder memancarkan banyak gelombang dalam waktu yang bersamaan, lebih mudahnya perhatikan gambar berikut ini:

Nah, kali ini saya tidak akan bercerita tentang bagaimana saya survey menggunakan multibeam echosounder, karena saya tidak melakukannnya. Yang saya lakukan adalah melakukan pengolahan data multibeam echosounder. Perlu diketahui harga multibeam echosounder, bisa dikatakan sangat mahal, bisa sampai ratusan juta bahkan miliar. Saat ini jurusan teknik Geodesi UGM juga belum memiliki alat ini, jadi sepertinya agak sulit mencari kesempatan bisa survey langsung menggunakan alat multibeam echosounder ini.
Kembali kepengolahan data, belajar mengolah data multibeam echosounder ini bisa saya dapatkan berkat adanya kakak angkatan saya yang dengan baik hati bersedia mengajarkan bagaimana cara mengolah data Multibeam Echosounder  dari awal sampai mendapatkan hasil akhir berupa model gambaran dasar lautnya. Kakak angkatan saya yakni Mbak Qori Tri Kurnia, mahasiswi Teknik Geodesi UGM angkatan 2010, yang sebentar lagi mau lulus dan kebetulan topik skripsi yang diambil berkaitan dengan pengolahan data multibeam echosounder. Kegiatan pelatihan ini juga merupakan agenda kegiatan dari study club Hidrografi KMTG, yang sudah terbentuk sejak tahun 2012 lalu.
Kegiatan pelatihan berlangsung 2 hari, 1 hari teori dan 1 hari praktek, sayang sekali tidak begitu banyak peseta yang ikut pelatihan ini, mengingat mahalnya harga alat multibeam echosounder, data kedalaman yang sebagian besar merupakan privasi perusahaan atau instansi dan cara mengolah yang agak sulit, saya merasa sangat beruntung bisa ikut pelatihan ini, sudah diberi data gratis, diajari dengan detil dari awal  pengolahan, untuk yang ini saya sangat berterimakasih kepada Mbak Qori. Mbak Qori menjelaskan dia bisa mendapatkan data multibeam ini dari Instansi pemerintah, setelah sebelumnya sempat praktek/magang di Instansi tersebut selama 1 bulan. Karena datanya cukup rahasia dan tidak untuk konsumsi publik jadi tidak akan saya jelaskan instansi dan wilayah datanya secara mendetail. Namun jika berminat tahu lebih dalam, silahkan kontak saya secara personal saja, mungkin ada beberapa data yang bisa dishare, tentunya atas seijin Mbak Qori terlebih dahulu. Berbagi ilmu memang menyenangkan, karena itulah tujuan blog ini ada.
Langsung saja keintinya, “lalu dari mana mulai mengolah data multibeamnya?” Pengolahan data multibeam kali ini menggunakan Mutibeam Echosounder (MBES) System. MBES System sendiri secara langsung terinstall ketika kita menggunakan system oprasi Poseidon Linuk pada computer. Jadi kalau masih menggunakan Windows 7 atau Windows 8, maka kita perlu menginstall Poseidon LINUK, namun jangan khawatir 1 komputer bisa sekalius menggunakan Linuk dan Windows. Berikut tampilan desktop posaidon linuk:


Nah kalo sudah tampil seperti diatas, selanjutnya tinggal masuk ke folder data yang akan diolah. Sekali lagi karena data yang saya miliki tidak bisa dishare kepublik jadi tidak bisa saya tampilkan. Jika sudah berada dalam folder datanya, coba klik kanan lalu pilih Open in Terminal. Tampilannya akan seperti berikut:

Pada tampilan terminal inilah pengolahan data dilakukan. Ada banyak perintah yang bisa digunakan untuk mengolah datanya. Misalnya perintah untuk menampilkan format data, mengubah format data, dan lain sebagainya. Namun perintahnya disini bahasanya agak rumit dan sulit untuk dihafalkan. Seperti bahasa pemrograman. Nah untuk memudahkan dalam pengolahan data, semua perintah programnya bisa dilihat diewebsite ini http://www.mbari.org/data/mbsystem/html/mbsystem_man_list.htmlhttp://www.mbari.org/data/mbsystem/html/mbsystem_man_list.html. Misalnya saja untuk mendownload data dalam format ASCII berikut perintahnya: mblist -f-1 -i datalist.mb-1 -R116.69/116.72/-1.21/-1-19 -oXYZ >listkoordinat.txt” .  Dan masih banyak lagi perintah-perintah lainnya, semuanya sudah tertera dalam website yang sudah saya sebutkan tadi. Untuk langkah-langkah dari awal masih saya buatkan modulnya, tapi sekali lagi mungkin tidak bisa untuk konsumsi publik. Nah biar ada sedikit gambaran mengenai hasil akhir pengolahan datanya, ini hasil pengolahan data yang berhasil saya buat atas bimbingan Mbak Qori:



            Mugkin itu yang bisa saya share kali ini. Ilmu yang terasa sulit awalnya ternyata terasa menyenangkan dan mudah untuk dipelajari jika dikerjakan dengan sunggu-sungguh. Dan yang penting tentunya ada pembimbing yang baik hati dan sabar mengajari seperti Mbak Qori.


Monday, December 1, 2014

Pura Vaikuntha Vyomantara – Pertemuan Singkat 2 Tahun Lalu.



21 November 2014



Sore ini  tak biasanya saya menghabiskan senja di Paskhas,TNI AU. Bukan untuk latihan militer atau mendaftar TNI, namun untuk melaksanakan kegiatan GEOID yang merupakan kegiatan ospek jurusan. Ini adalah kali pertama dilakukan GEOID di Paskhas. Ada banyak pelajaran baru yang didapat di Pashkash kali ini.Namun tidak itu yang akan saya bahas kali ini. Hari ini tanggal 21 November 2014, bertepatan dengan hari raya tilem (bulan mati). Bagi umat Hindu seperti saya dihari raya Tilem seperti ini dianjurkan untuk melaksanakan persembahyangan di Pura. Kebetulan sekali ada Pura yang berlokasi tepat ditengah-tengah Markas TNI AU, yakni Pura Vaikuntha Vyomantara. Saya belum pernah sembahyang dipura ini sebelumnya. Entah kenapa, jika berada di Luar Bali, ketika datang ke Pura perasaan nyaman, teduh dan tenang akan datang sendiri.
Saya datang ke Pura bersama 2 orang teman saya yakni Adi dan Ditha, rekan sedharma di Geodesi. Tanpa pakaian adat, tanpa udeng kami bertiga datang ke pura. Maklum saja selama GEOID kami tidak menyiapkan pakaian adat, karena acara kepura ini juga tidak direncanakan sebelumnya. Jika di Bali ke Pura tanpa berpakaian Adat, mungkin akan terlihat sangat aneh dan mencolok. Namun jika di Jawa ada perasaan yang berbeda, tidak ada orang yang mmpermasalahkan bahkan sepertinya semua memaklumi.
Di Pura Vaikuntha Vyomantara, sepertinya memang dibuat untuk anggota TNI yang beragama Hindu, hal ini bisa dilihat dari sebagian besar potongan rambut umat yang bersembahyang disana, sebagian besar ala TNI. Namun Pura ini juga dibuka untuk umum, cukup ijin mengatakan akan sembahyang, free acces pun didapat.
Selama bersembahyang saya duduk paling belakang bersama Ditha dan Adi, disebelah saya ada Bapak-Bapak yang sudah duduk terlebih dahulu bersama 3 orang anaknya, didepan saya ada wanita ‘ayu’ yang dari tadi asik mengbrol dengan temannya. Begitu kami bertiga duduk, Ibu-Ibu didepan saya dengan sigap bertanya “ Dari mana?” sambil tersenyum penuh keramahan. Mungkin beliau penasaran dengan kostum kami yang bertuliskan GEOID dan jarang terlihat di Pura ini. Saya jawab dengan senyum ramah, Teknik Geodesi UGM Bu J. Si Ibu hanya mengaguk dan tersenyum, tak ada kelanjutan obrolan karena jaraknya memang agak jauh didepan dan sulit mengbrol. Namun yang menarik adalah Bapak yang duduk disebelah kanan saya. Sekilas saya perhatikan saya pernah melihat Bapak ini, tapi saya masih belum yakin. Disinilah ilmu ‘basa-basi’ itu diperlukan, namun sebelumnya saya memulai ternyata Bapak disebelah kanan saya sudah menyapa terlebih dahulu. Pertanyaanya sama, sedikit berbau geospasial. “Dari Mana?” Tentu tidak akan saya jawab dari koordinat 430835.73m E , 9141738.49 S. Saya jawab dari Teknim Geodesi. Dari sana kemudian terjadilah berbagai macam obrolan. Saya tahu beliau adalah seorang guru Agama di sebuah SMA di Jogja, yang sekarang tinggal disekitar daerah Gedong Kuning. 1 pertanyaan singkat dari yang akan menjawa rasa penasaran saya. “Apa bapak pernah memberi materi atau kuliah agama Hindu di Fakultas Teknik UGM?” Iya pernah 2 tahun lalu, saya lupa nama jurusannya, dulu ada keponakan saya yang mengundang kesana, namanya Putu Praja”. Ternyata benar 2 tahun lalu dalam kegiatan ospek jurusan yang dimana saya adalah pesertanya, ada kegiatan siraman rohani, waktu itu yang beragama Hindu, mendapat wejangan dari seorang Guru Agama, yang saya lupa namanya. 2 tahun lalu waktu siraman rohaninya dilaksanakan malam hari dan cukup singkat, sekitar 1 jam. Itupun dilaksanakan dalam kondisi yang cukup melelahkan karena sebelumnya siraman rohani ada kegiatan lain. 2 tahun lalu sepertinya cepat berlalu, Guru yang dulu mengajarkan Agama, bahkan hampir saya lupakan, saya memohon maaf untuk yang satu ini. 2 tahun lalu saya,Adi dan Ditha diajari selama kurang lebih 1 jam  oleh Bapak yang saat ini duduk sembahyang bersama saya. Dulu Beliau  mengajari mengenai bagaimana mengamalkan nilai-nilai keagaman selama kuliah. Kini setelah 2 tahun berlalu, akhirnya bertemu kembali dengan Sang Guru. Akhirnya kami semua mengbrol banyak membahas mnegenai kegiatan dulu, yang sekarang dan bermacam-macam hal.
Tak terasa waktu 2 tahun begitu cepat berlalu. Jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan ada banyak hal yang terlewatkan. Suasana hening, damai dan tenang tiba-tiba datang menghentikan semua obrolan malam itu, sudah waktunya sembahyang.