Monday, August 8, 2016

Memainkan Peran Kehidupan


8 Agustus 2016, 10:49 PM
Malam ini begitu sunyi, walau headset dengan music genre punkrock sudah terpasang di telinga, namun sunyinya malam masih bisa dirasakan. Kali ini saya mencoba menuliskan timeline kegiatan yang ingin saya kerjakan besok, ada banyak pikiran terlintas untuk dilakukan besok. Namun sembari memikirkan hal tersebut, entah kenapa pikirian ini selalu menyukai kenangan masa lalu sampai pada akhirnya mengingatkan kenapa sampai saat ini saya bisa duduk di depan laptop dengan santai di Jogja yang sangat jauh dari rumah. Perasaan saya baru kemarin sore Ibu saya menyuruh saya menyuruh membantu membersihkan kotoran babi di kandangnya. Padahal babi-babi itu sudh lama dijual semuanya untuk biaya hidup. Tapi percayalah foto dibawah ini adalah hasil jepretan saya sendiri ketika kelas 1 SMA ketika masih memelihara banyak babi.


            Kali ini saya benar-benar berasa memasuki tahadapan kehidupan yang baru. Tadi pagi sempat bertemu mahasiswa angkatan 2015, dan sempat mengobrol singkat. Pernyataannya yang masih terngiang dalam benak saya, ketika saya mengatakan akan wisuda bulan ini, adik kelas itu menjawab dengan santainya “Wah sudah senang ya”. Dalam hati saya sebenarnya ingin menegurnya dengan serius, percayalah berhasil wisuda itu hanyalah kenikmatan sesaat, tanggung jawab yang sebenarnya datang ketika selesai wisuda. Ketika akan wisuda, meminta uang jajan kepada orangtua tidaklah lagi hal yang ingin saya lakukan, ketika ada beberapa rekan seangkatan yang sudah nikah muda, disana juga akan mulai berpikir kapan akan siap untuk menjaga anak orang dengan siap secara mental dan materi. Sepertinya saya sudah akan berganti peran, dari mahasiswa yang mencari ilmu, ke orang yang siap menerapkan ilmu guna memperoleh materi. Jika dalam Hindu mungkin masa ini adalah masa-masa peralihan Brahmacari (menuntut ilmu) menuju Grahasta (berkeluarga), walaupun Grahasta yang sebenarnya masih 2 – 4 tahun lagi, tergantung negosiasi dengan Dewa Ayu Wahyu Risnaadi pada waktu yang entah itu kapan.
            Duduk termenung malam ini memikirkan hari wisuda, terkadang membuat saya tidak percaya. Anak dari desa, kecil terbiasa dengan kandang babi, bermain ke sawah, SD di pinggir sawah dan kuburan, sepanjang sejarah keluarga belum ada yang pernah kuliah hingga sarjana, dan kini saya mendapatkan hal yang mungkin orang tua, kakek dan nenek serta mbah buyut tidak akan pernah bayangkan, atau jika memimpikannya saja Ibu saja sudah lebih dulu akan menghakimi dirinya tidak akan mampu sebelum mencoba. Saya sangat bersyukur memainkan peran ini. Pernah menjadi anak desa yang sebenarnya, pernah menjadi anak kota karena ketika SMA pindah ke kota dan kuliah menjadi anak rantauan dengan mendapat fasilitas pendidikan yang baik. Menjadi anak desa yang sebenarnya, mengajarkan saya untuk menghormati dan lebih ramah terhadap orang disekitar, mengajarkan saya untuk pandai membuat klatkat, sengkui, dan klangsah untuk upacara agama. Ketika di kota pelajaran itu mulai jarang diterapkan. Namun di kota membuat saya lebih maju dalam hal teknologi, pergaulan dengan teman-teman yang mempunyai orientasi belajar yang tinggi membuat saya lebih melek akan informasi dan teknologi-teknologi yang mungkin akan memudahkan umat manusia terutama orang desa yang sebenarnya yang cenderung kalah cepat akan perkembangan teknologi dengan yang ada di kota. Maka beruntunglah saya yang pernah berada pada posisi keduanya. Dan yang lebih beruntung lagi ketika saat ini saya mendapatkan peran sebagai mahasiswa di Jogja, sebagai mahasiswa di lingkungan yang sangat bagus, UGM.
            Baru tadi siang saya membawa proposal pembuatan alat kegeodesian untuk diserahkan kepada dosen saya. Dosen saya dengan santainya mengatakan “Nanti kamu urus ini ya”, tentu saja saya mengiyakan karena memang dari awal saya sudah mempelajari dan mempersiapkan segalanya, dan bagi saya itu hal yang wajar setelah apa yang saya lalui selama ini bersama dosen. Namun dalam sisi lainnya saya sebagai anak Desa, bagi saya yang anak desa sebenarnya, nama saya diingat dosen saja merupakan suatu prestasi yang membangkan, apalagi bisa mengerjakan penelitiannya bisa dibayangkan bagaimananya senangnya sebenarnya. Jika saya besar di Kota saya kadang berpikir apakah saya akan sama seantusias ini seperti orang desa yang selalu merasa rendah, maka ketika ada orang hebat seperti misalnya dosen yang minta tolong saya akan menjadi sangat antusias untuk membantu?? Menjadi orang desa, dan merasa rendah terkadang tidak selalu buruk, saya menjadi sangat menghormati dan antusias ketika bertemu dosen atau pimpinan, karena merasa tidak banyak kesempatan untuk terkoneksi dengan orang-orang hebat. Namun walau begitu, kehidupan di kota dan dirantauan mengajarkan saya dimana ada waktunya percaya diri dan sedikit mengurangi rendah diri. Berporses dalam kedihupan, seperti memainkan banyak peran, namun peran sebelumnya masih terkait dan membekas dalam menjalani peran berikutnya.
            Entah apa yang saya pikirkan malam ini, sepertinya imaginasi malam ini terlalu mencar kemana mana. Peran berikutnya mungkin peran kehidupan yang membuat saya sedikit gelisah akan apa yang akan saya dapatkan. Manusia bisa berusaha dan berdoa, tapi tentunya sudah ada penentunya.

Dalam syukur atas segala peran yang diberikan oleh-Nya

Made Sapta