Sunday, November 17, 2019

Mengenang Bidikmisi




Suatu malam di tahun 2012, saya melaju ke sebuah warnet di pusat kota Tabanan. Hati berdebar debar, kala itu saya hendak melihat pengumuman SNMPTN , yakni Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Pikiran makin buyar ketika beberapa teman saya sudah memberi tahu bahwa ia diterima di Universitas pilihannya masing masing. Kala itu setiap siswa dapat memilih 2 Universitas, dan 2 prodi di masing masing universitas. Saya menjatuhkan pilihan pada Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada, dan prodi Teknik Geologi di pilihan ke 2. Dengan hati yang gelisah, karena jika tidak lulus SNMPTN ini saya tidak punya rencana lain kuliah dimana, atau akan hendak kuliah atau tidak. Billing warnet depan SMK 1 Tabanan menjadi saksi, perasahaan bahagia mengharu biru ketika saya melihat nama saya dinyatakan lolos di Prodi Teknik Geodesi UGM. Tanpa berpikir panjang, saya langsung men screen shoot pengumuman tersebut, browsing pengertian tentang Teknik Geodesi di wikipedia dan mencetak hasilnya, untuk saya bawa pulang dan tunjukkan ke orang tua saya.  Kebut laju motor mio yang saya bawa malam itu tanpa menghiraukan apapun, saya hanya ingin segera sampai rumah dan memberi tahu kabar gembira ini, bahwa saya akan kuliah di Yogyakarta. Sepanjang sejarah keluarga saya, saya adalah orang pertama yang kenempuh pendidikan hingga S1 dan kuliah di luar Bali pula. Sampai dirumah, dengan sigap saya menjelaskan tentang apa itu Teknik Geodesi, bagaimana bagusnya UGM, walaupun saat itu saya hanya tau dari internet. Dengan bahagia, orang tua serta kakak saya yang kala itu masih ada di dunia, turut senang dan sangat mendukung saya untuk bisa kuliah di Yogyakarta. Namun satu pertanyaan dari Ibu saya membuat kesenangan itu seketika menjadi hening, " Bagaimana dengan beasiswanya?"
Saya mendaftar lewat jalur Bidikmisi namun pada lembar pengumaman SNMPTN tidak tertera jalur bidikmisi. Pikiran saya mulai beralih kembali mengenai biaya kuliah, apalagi ini bukan di Bali. Singkat cerita, setelah mencari ke berbagai sumber akhirnya saya mendapati informasi bahwa akan ada interview biasiswa bidikmisi kembali di Yogyakarta.

Hari keberangkatan menjadi hari yang genting. Bagi keluarga saya dulu, berangkat ke Jogja adalah perkara yang rumit. Mau naik apa, akan tinggal dimana, bagaimana transportasi slama disana dan segala macam hal lain yang ditakutkan karena dalam keluarga saya belum ada yang merantau hingga ke Jawa. Singkat cerita saya bisa berangkat ke Jogja dengan menumpang di keluarga teman saya, sebut saja Cahya. Ia juga diterima di UGM, Cahya berangkat ke Jogja bersama keluarganya dengan menggunakan mobil, kebetulan masih tersisa 1 slot penumpang di kursi belakang. Keluarganya berbaik hati menawarkan ke saya untuk berangkat bersama ke jogja dengan mengisi 1 slot yang tersisa. Saya terselamatkan,  akhirnya saya bisa berangkat ke Jogja dengan lebih tenang karena ada teman yang diajak berangkat. 

Sampai di Jogja saya di bawa ke sebuah rumah megah, yang ternyata saya akhirnya tau itu adalah rumah Bapak Made Miasa, beliau adalah Dosen Tenik Mesin UGM yang kebetulan satu kampung dengan Cahya. Beliau berbaik hati menawarkan tumpangan rumah, sembari kami masih mencari tempat kos. Pak Miasa memberikan bantuan yang luar biasa, walau ini kali pertama kenal dan bertemu. Beliau sempat memandu kami keliling UGM dan menjelaskan tempat tempat strategis yang perlu diketahui. 

Setelah itu perjalanan menjadi mahasiswa bidikmisi baru di mulai. Saya tinggal di daerah pogung kidul, mlati, Sleman. Hari hari saya lewati dengan kuliah, bekerja sampingan, berorganisasi dan lain lain. Di masa awal kuliah di Teknik Geodesi, saya bertemu dengan seorang dosen yang membuat saya yakin kuliah di Teknik Geodesi. Beliau adalah Bapak Made Andi. Di waktu mengikuti kuliah umum pertamanya, yang membuat saya sangat terinspirasi bukan karena animasi presentasinya yang bagus, bukan juga karena kisahnya keliling dunia. Saya terinspirasi melihat foto beliau di waktu muda, foto bersama Ibunya dirumah yang sangat sederhana, lengkap dengan beberapa kertas koran yang digunakan untuk menutupi dinding rumah. Penampilannya saat presentasi saat itu sungguh berbeda dengan fotonya di masa lalu. Kondisinya di masa lalu, mungkin hampir mirip dengan saya yang saat itu mengikuti kuliahnya. Seorang yang bukan siapa siapa yang "terlantung lantung"  di Jogja karena Bidikmisi. Beliau memberikan saya harapan bahwa dengan kuliah di Teknik Geodesi, setidaknya ia bisa merubah kehidupannya. 
Tak lama setelah mengikuti kuliah umum bersama Pak Made Andi, kurang lebih setahun setelahnya saya menjadi asisten beliau dan mendapat banyak pelajaran hidup selama kuliah. Banyak cerita bersama yang akhirnya saya bukukan, dan lahirlah buku " Catatan Inspirasi Geodet Muda". Buku itu juga sekaligus menjadi bentuk terimakasih atas beasiswa Bidikmisi yang saya terima. Jika membaca buku itu kembali,terasa merasakan setiap "emosi perjuangan" di masa kuliah. Membahas tentang perjuangan, saya sempat disindir teman dibilang lebay mengakatan  kuliah adalah perjuangan. Perjuangan saya tidak hanya harus meraih prestasi untuk mempertahankan beasiswa bidikmisi, perjuangan lainnya seperti merasakan membeli nasi di warung prasmanan seharga 5000 rupiah dengan lauk telur, kemudian nasi itu dibagi dua lagi untuk makan pagi dan siang, atau diakhir tahun harus berangkat subuh dan pulang larut malam untuk menghindari ibu kos, karena belum bayar kos, dan berbagai perjuangan lain agar dapat lulus tepat waktu, berprestasi dan "bertahan hidup".

Kini berkah bidikmisi bisa mulai bisa dipetik. Beberapa waktu lalu saya iseng bertanya pada Ibu saya, kebetulan ada bukaan PNS, iseng saya bertanya, " kira kira Ibu ingin saya mendaftar PNS?" . Dengan santai ia menjawab, " sepertinya kamu lebih cocok bekerja di Kalimantan, lagi pula Kalimantan tidak jauh, dan kamu bisa pulang setiap dua bulan sekali". Saya hanya tersenyum santai mendengar jawabannya. Di tahun 2012,bagi Ibu saya Yogyakarta adalah tempat yang jauh dan tak terjamah. Namun di tahun 2019, jarak tidak menjadi masalah baginya. Pandangannyapun berbeda dengan ibu ibu dikampung mengenai status PNS. Saya sadar apa yang dilakukan dan diraih seorang anak, dapat membuat perubahan besar bagi mindset orangtuanya.  Dan semua hal itu tidak akan terjadi jika saya tidak mendapat program Bidikmisi. Terimakasih Bidikmisi.

Ps: 
Foto saat presentasi di Jakarta. Lanjutan penelitian di waktu kuliah bersama Pak Made Andi yang diterapkan di tempat kerja.

Wednesday, October 16, 2019

Harvest Moon Back to Nature in Real Life




Dalam buku Cash Flow Quadrant, Robert Kyosaki menjelaskan bagaimana ia belajar berbisnis dan berinvestasi, salah satunya dibidang property. Ia menjawab, ia belajar dari permainan monopoli yang ia mainkan saat ia kecil dengan ayahnya. Awalnya terkesan hanya gurauan, tapi ia serius menjelaskan bahwa ia belajar dari permainan monopoli. Bahkan kini ia membuat sebuah permainan baru yang menyerupai monopoli untuk mengajari orang berbisnis. Sebuah permainan di masa kecil ternyata berdampak cukup besar bagi sebagian orang. Hari ini pun saya sedikit merasakan pengaruh sebuah video game yang hampir setiap hari saya mainkan di masa kecil. Harvest Moon Back To Nature, jika kamu mengetahui game ini kemungkinan kita satu generasi, dan kamu anak kelahiran 90an. Rutinitas saya setiap hari ketika cuti yakni, pagi sekali memberi makan ayam, setelah itu memberi makan babi dan membersihkan kandangnya, lalu memberi makan lele, terakhir melihat sapi. Untuk sapi sudah ada yang mencarika makan sendiri. Dalam game harvest moon back to nature, diceritakan seorang anak muda yang mendapat warisan peternakan dan perkebunan milik kakeknya lalu kita memainkan peran untuk mengurus perkebunan dan peternakannya dan hidup seperti orang normal, bisa menikah, upgrade rumah dll. Uniknya dalam game itu juga ada kegiatan penambangan, walau hanya menggunakan cangkul, serta kita dituntun untuk melakukan upgrade rumah untuk dapat menikah. Hari ini saya menjalani semua yang ada di game tersebut. Saya bekerja di pertambangan, saya pun sedang dalam proses upgrade rumah untuk persiapan pernikahan, dan entah kenapa beternak dan berkebun bagi saya menjadi sesuatu hal yang menyenangkan, dari lele, ayam, sapi, babi semua saya pelihara dan terasa sangat menyenangkan melihat pertumbuhan hewan ternak setelah pergi merantau di kalimantan. Mungkin memang benar, apa yang dimaikan di masa kecil akan sedikit berdampak pada hobi atau ketertarikan dimasa dewasa. Seperti halnya robert kyosaki yang suka bermain monopoli di masa kecilnya. Jika suatu hari nanti saya sudah punya anak, mungkin tidak ada salahnya mengajaknya main monopoli dan sekaligus harvest moon. Saya bersyukur saya tidak banyak terpengaruh game GTA San Andreas, tentunya hanya angkatan 90an yang mengetahui game ini. Namun saat ini game yang terkenal adalah mobile legend dan juga ada PUBG, seperti apakah game ini nanti nya akan berpengaruh ke hobi dan minat anak anak yang memaninkan ini dimasa dewasanya? 

Ps: jika anda bingung dengan tulisan ini, masa kecil anda bukan gamer.

Monday, September 23, 2019

Karyawan, Wirausaha, dan Pengelolaan Keuangan




Suatu pagi di Kalimantan Utara tahun 2017, saat mengawasi beberapa unit Excavator yang sedang mencari batubara, muncul obrolan yang cukup menarik dengan salah seorang pengawas. Sebenarnya lebih tepatnya beliau bisa dikatakan mentor saya sekaligus “orang tua” saya selama di Kaltara karena usianya hanya selisih beberapa tahun dengan orang tua saya di Bali. Beliau mengatakan, ia sudah bekerja merantau di dunia pertambangan bahkan saat usianya jauh lebih muda dari saya saat itu. Satu pesan beliau yang membuat saya berpikir sejenak, di usianya yang tidak muda lagi dia masih harus merantau dan jauh dari keluarga. Ia belum bisa berhenti bekerja, karena memang penghasilan utama masih bertumpu pada slip gaji dari bekerja di tambang. Beliau membandingkan dirinya dengan tetangganya yang ada di Jakarta, selama ia bertahun-tahun pulang pergi Jakata-Kalimantan,ada tetangganya yang dari dulu beternak lele, namun bisa hidup normal dan menyekolahkan anaknya hingga kuliah, namun ia tidak harus kehilangan waktu bersama keluarga. Pesan beliau pada saya, “selagi kamu masih muda, kelola lah keuanganmu dengan benar, sehingga di ketika kamu seusia dengan saya, kamu memiliki banyak waktu luang dan tidak kekurangan uang”.
Obrolan di pagi itulah awal mula saya mulai fokus untuk lebih mendalami management keuangan serta menentukan saya mau “kedidupan” seperti apa di usia yang tidak muda lagi kedepannya. Saya mulai berpikir untuk memiliki penghasilan tambahan selain mengandalkan slip gaji. Sebenarnya dari saya kuliah, saya memiliki sedikit penghasilan dari jualan buku karya saya sendiri, namun ketika sudah bekerja, buku ini tidak terkelola dengan baik. Saya mulai berpikir bagaimana caranya memiliki penghasilan tambahan yang terjadwal seperti ibarat gaji tambahan namun tidak mengganggu pekerjaan saya di tambang. Beberapa kisah orang suskes yang saya baca, orang yang baru memuali suatu usaha di mulai dari apa yang ia punya saat memulai, dan memaksimalkan penggunaannya. Seperti halnya Microsoft yang dimulai dari garasi mobil. Saya mulai melihat ke diri saya saat itu, yang saya tidak punya yaitu waktu luang, karena masih bekerja di tambang, dan yang saya punya adalah sedikit lahan yang terbengkalai di kampung yang tidak menghasilkan apapun. Bersyukurnya saya masih memiliki orang tua yang masih sehat dan memiliki banyak waktu luang di masa tuanya.
Dari sinilah saya mulai mengubah lahan yang terbengkalai menjadi beberapa kolam lele, kandang babi dan ayam. Di tulisan berikutnya saya akan menceritakan secara detil mengenai ternak lele. Yang saya lakukan adalah menyisihkan sebagian gaji saya untuk modal beternak, mengatur cashflownya, membantu pemasaran dan mencari rekanan komunitaas ternak, serta mengecek kondisi ternak pada saat cuti, Selebihnya dikelola oleh orang tua saya yang tentunya sangat bisa di percaya. Hampir setahun berjalan di dunia ternak, saya mulai memikirkan berbagi ide ide baru untuk dikerjakan kembali, tapi tentunya tidak semuanya dengan mudah begitu saja diwujudkan karena ada hal lain yang harus diperhitungkan dalam pengelolaan keuangan,
Saya banyak terpengaruh oleh buku Cashflow Quadrant karya Robert T. Kyosaki dan Channnel youtube “Succes Before 30” milik bapak Chandra dalam hal pengelolaan keuangan.  Menurut Kyosaki, ia membagi orang ke dalam empat kuadran berdasarkan cara orang menghasilkan uang, empat kuadrant tersebut yakni E, S, B dan I. Singkatnya E adalah employee atau karyawan, S = Self Employee, B = Big Business, dan I untuk Investor. Buku ini menyadarkan  dikuadrant mana saya berada, dan kenapa mentor saya dulu di Kaltara harus tetap bekerja di usianya yang sudah tidak muda lagi.  Perlahan saya sepertinya mulai menyadari kehidupan seperti apa yang harus saya perjuangkan dimasa tidak muda lagi, tapi tentunya perjalan untuk mewujudkannya masih panjang.
Di masa kuliah, saya tidak terlalu memperhatikan pengetahuan mengenai pengelolaan keuangan, karena memang saat itu belum banyak atau bahkan tidak ada yang dikelola. Namun saat ini ketika sudah memiliki slip gaji sendiri dan berbagai keinginan untuk diwujudkan, kesadaran untuk sangat jitu dalam pengelolaan keuangan menjadi hal yang wajib. Saya menyadari, semakin dini/ semakin muda saya melakukan trobosan untuk mengelola keuangan dan mebuat suatu usaha baru, semakin banyak ilmu yang akan saya pelajari dari setiap kesalahan yang nantinya mungkin akan saya lakukan.  Banyak rekan pekerja di tambang yang saya jumpai, baru memulai mimikirkan apa yang akan dilakukan setelah tidak bisa bekerja lagi ketika akan mendekati masa pensiun, dimana sebelumnya ia hanya mengandalkan slip gaji. Namun akan menjadi beresiko ketika memulai suatu usaha di usia yang tidak produktif lagi dan mengalami kegagalan. Bagi saya akan lebih bagus kegagalan itu saya sudah rasakan di saat masa produktif, sehingga kegagalan itu tidak akan benar-benar menajdi kegagalan namun lebih terasa seperti pembelajaran untuk kemudian menang.
Namun semuanya hal yang sudah direncanakan mungkin bisa saja tidak berjalan sesuai keinginan, hal yang terencana saja bisa tidak tercapai sesuai keinginan, apalagi tidak direncanakan dan dikelola dengan benar. Selamat merencanakan keuangan anda sendiri!

www.madesapta.com




Wednesday, May 1, 2019

Vietnam, Swates, dan Hari Presentasi





Selasa, 30 April 2019
            Hari ini ada hal yang sedikit berbeda dari rutinitas pekerjaan saya, Hari ini saya akan mempresentasikan sebuah alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya over cut dalam kegitan penambangan, dalam acara perlombaan terkait inovasi karyawan yang di selenggarakan oleh perusahaan tempat saya bekerja. Idenya sederhana,yakni menggabungkan GPS murah, perangkat Arduino dan lampu LED untuk menunjukkan dimana letak batas design penambangan. Apabila alat berat melewati batas yang ditunjukkan maka lampu pada alat akan menyala, sehingga kegiatan penambangan tidak melewati batas yang ditentukan. Kalau rekan saya yang sudah mengikuti blog saya ( www.madesapta.com) dari tahun 2015, tentunya tidak akan asing lagi dengan alat ini.
            Alat ini sebenarnya merupakan modifikasi dari alat yang saya buat sewaktu kuliah di Teknik Geodesi UGM bersama saudara Imad dan Bagas Lail, teman kuliah di UGM yang kini sudah menempuh jalannya masing-masing. Dulu kami beri nama alat ini Swates yang berarti Suwanten Wates (Suara Perbatasan). Alat ini ditujukan bagi nelayan Indonesia yang mencari ikan di wilayah perbatasan. Maraknya kasus penangkapan nelayan di wilayah perbatasan mendorong kami para mahasiswa pada saat itu untuk membuat alat untuk membantu nelayan menunjukkan dimana letak batas maritime yang ada.
            Sudah empat tahun setelah alat ini dibuat, kini saya modifikasi kembali alat ini untuk digunakan di pertambangan. Namun sehari setelah saya presentasi alat ini untuk digunakan di dunia tambang, banyak media di Indonesia memberitakan mengenai kapal TNI ditabarak kapal Vietnam. Tentunya kasus ini juga erat kaitannya dengan batas maritime. Melihat bertita ini, teringat seorang sosok guru yang mengajarkan saya banyak hal dan sekaligus membimbing saya membuat alat swates di UGM pada waktu kuliah, beliau bapak Andi Arsana yang juga seorang pakar dalam batas maritime . Saya penasaran dengan kasus Vietnam, waktunya meminta kuliah singkat via telepon dengan sang pakar.
            “Apa kabar tentang Vietnam?” langsung saya tanyakan malam tadi ketika menelepon dengan ahlinya. Langsung beliau menjelaskan kembali seperti kisah klasik masa kuliah yang kadang dirindukan. Intinya belum ada kesepakatan batas laut antara Indonesia dengan Vietnam. Lalu apa yang terjadi ketika nelayan Vietnam menangkap ikan di laut yang belum disepakati batasnya? Tentu saja salah, karena belum jelas siapa pemilik ikannya. Lalu bagaimana kalau peerintah Indonesia menangkap nelayan tersebut? Bisa juga dibilang salah, karena belum tentu juga ikannya milik Indonesia. Selama belum ada kesepkatan batas laut, Indonesia dan Vietnam sama-sama menentukan klaim batas sepihak,  apa akibatnya? Mungkin di mata Vietnam, Indonesialah yang salah, dan di mata Indonesia, Vietnam lah yang salah. Mungkin seperti itu. Apa yang harus dilakukan? Menurut saya pribadi, merpercepat penetapan batas laut Indonesia dengan Vietnam dapat mengurangi konflik.
            Namun terkadang berita di media yang kita dengar terlalu heboh dengan kenyataan sebenarnya, dilaut bisa saja nelayan di tangkap, di darat mungkin diplomat Indonesia dengan Vietnam sedang ngopi bareng sambil mendiskusikan batas maritime ke dua Negara. Entahlah. Tulisan ini harus saya sudahi, karena harus mengirimkan script Matlab mengenai prediksi pasang surut laut ke Thirh Tam, teman saya asal Vietnam yang sedang menempuh study Oceanografi di Vietnam.

PS:
Foto tahun 2015 di sebuah hotel di Bali, ketika menemani pakar batas maritime presentasi mengenai perbatasan.

Wednesday, January 23, 2019

Anak Rumahan


31 Desember 2008
Hari ini Joni bangun lebih pagi, ia ingin pergi ke pasar untuk membeli beberapa ekor ayam untuk dipanggang di malam tahun baru ini. Bersama dengan Bapak dan Ibunya, ia berencana menyambut tahun baru 2009 di Desanya yang tenang dan damai dengan membuat ayam bakar. Berbeda dengan Ucup, pagi sekali ia sudah ke Balai Desa, bersama para pemuda duduk dipinggir jalan sambil menenggak beberapa botol bir. Ucup dan beberapa pemuda Desa pun juga sudah berencana untuk mengadakan pesta tahun baru di Balai Desa. Ucup mulai mengumpulkan uang patungan dengan pemuda lain untuk membeli ikan serta beberapa botol arak untuk diminum ramai ramai nanti malam. Tak lupa,Ucup yang juga merupakan teman Joni sejak TK sampai kini beranjak SMA mengajak Joni untuk ikut nanti malam ke Balai Desa. Joni mengiyakan untuk ikut nanti ke Balai Desa, pikirnya setelah selesai acara di rumah, iya bisa ikut bergabung dengan pemuda Desa. 
Selama ini Joni memang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan disekolah. Joni yang selama ini  hidup pas-pasan, sekolah dengan beasiswa, tidak ingin banyak membuang waktunya di luar rumah. Sepulang sekolah ia membantu kedua orang tuanya membersihkan kandang babi, dan sesekali ikut mencari rumput untuk seekor sapi yang di pelihara neneknya, dan ketika malam iya fokus belajar untuk mempertahankan beasiswanya. Hal ini membuat Joni di cap sebagai anak rumahan oleh rekan-rekan seusianya. Berbeda dengan Ucup, Ucup adalah simbol pemuda penuh kebebesan di Desa. Ucup lebih mudah ditemui dipinggir jalan dari pada di rumah. Bir dan arak adalah minumanya sehari-hari. Ia banyak digandrungi pemuda ABG karena gayanya yang penuh kebebesan, dan terlihat sangat menikmati hidup.
Malam penyambutan tahun barupun tiba, Joni sudah bersiap ke balai Desa untuk berkumpul bersama pemuda Desa. Selesai bakar-bakar ikan tentunya acaranya selesai dan ia bisa pulang,pikirnya. Sampai di balai desa, Joni kaget, tidak ada ikan sama sekali. Ia bertanya pada Ucup, uang tadi pagi yang ia berikan bersama pemuda lain apa tidak jadi di belikan ikan. Ucup menjelaskan kalau uangnya hanya cukup untuk membeli beberapa kerat bir dan beberapa jerigen arak.  Pikir Joni yang tidak terbiasa minum minuman beralkohol, mungkin dia hanya perlu minum sebotol bir, mengobrol sebentar dan kemudian pulang. Namun kenyataannya berbeda, Ucup mengajak Joni untuk ikut sampai puncak acara. Tepat pukul 12 malam, semua pemuda duduk membentuk lingkaran. Arak 2 jerigen pun dikeluarkan oleh Ucup, kemudian diputar ke semua orang untuk diminum bergiliran. Tiba saat giliran Joni pun tiba, ia meminum sedikit kemudian bergegas mengoper gelasnya ke rekan disampingnya. Joni mulai merasa tidak nyaman. Ia merasa ada sesuatu yang salah. Sehausnya bukan seperti ini dia merayakan tahun baru. Ia mulai gelisah, hingga tiba gilirannya lagi untuk meminum kembali arak yang begitu panas di tenggorokan.  Kembali ia minum satu tegak dan hatinya makin gundah. Tiba saat giliran minumnya untuk yang ketiga, Joni memutuskan berhenti dan menyudahi perhelatan batinnya. Ia sadar jiwanya tidak disini. Joni pun memutuskan pulang. Ucup mencoba menahannya, namun Joni tetap bersikeras ingin pulang. Ia tidak lagi menghiraukan dicap anak rumahan karena ia merasa tidak seperti ini tahun baru dirayakan. Pukul 1 malam Joni tiba di rumah, masih ada perhelatan dalam batinnya. Niatannya dia ingin menghabiskan waktu bersama teman-temannya disisilain ia merasa dia salah tempat jika ikut minum arak. Joni menghela nafas dan memikirkan keputusannya yang memilih pulang duluan. Sejak saat itu Joni lebih sibuk aktif berorganisasi disekolahnya, dan jarang menemui temannya Ucup, apalagi jika diajak pergi nongkrong, Joni selalu berusaha menghindar dan memilih belajar di rumah.
10 tahun kemudian….
“Bu apa Joni ada dirumah?”, pagi sekali Ucup mendatangi rumah Joni. “Wah kamu terlambat Cup, kemarin siang Joni sudah berangkat ke Kalimantan, 2 bulan lagi baru pulang, jawab Ibu Joni sembari memberi pakan ikan lele peliharaan Joni. Mendengar berita itu Ucup pun kembali pulang. Karena ada sesuatu yang penting ingin dibicarakan, iapun mencatat jadwal kedatangan Joni agar ia bisa bertemu langsung dengan Joni. Tepat 2 bulan kemudian Ucup kembali mendatangi rumah Joni, “Apa Joni sudah pulang Bu” Tanya ucup kepada Ibu Joni. “Joni pulangnya diundur, ia sekarang sedang di Jakarta, katanya ada training dari perusahaannya, semingggu lagi ia pulang”. Sejak menyelesaikan kuliahnya, Joni memang jarang dirumah, ia langsung pergi merantau ke Kalimantan dan bekerja di sebuah perusahaan tambang  batubara, Dua bulan sekali dia mendapat libur 2 minggu dan kemudian berangkat lagi ke Kalimantan. Sementara itu Ucup kini lebih banyak dirumah, ia masih bingung menentukan pekerjaan apa yang cocok untuk dirinya. Ia pun berharap bisa bertanya pada Joni, apakah mungkin masih ada lowongan yang cocok untuk dirinya di Kalimantan dengan hanya berbekal ijasah SMA. Sembari mencari pekerjaan, Ucup pun menunggu kepulangan Joni. Namun sepertinya memang belum jodoh, Ucup hendak menemui Joni seminggu sebelum ia berangkat kembali ke Kalimantan, karena ia tahu diminggu pertama jika pulang Joni biasanya susah ditemui karena sibuk bergelut dengan bisnisnya. Namun kali ini ternyata Joni hanya seminggu di rumah, seminggu sisa cutinya ia habiskan di Jogja untuk menemui pacarnya. Dalam pikiran Ucup, kini Joni sulit ditemui, ia jarang di rumah. Diusianya yang memasuki kepala dua, ia bukan anak rumahan lagi, bahkan rumah hanya tempat singgah sesaat. Kali ini Ucup yang menghela nafas, ia rasa ia lebih baik mencoba melamar kerja di seputaran kampungnya saja karena rasanya tidak cukup bekal ilmu jika harus merantau kesana-kemari seperti Joni. Terjadi perhelatan batin dalam diri Ucup disatu sisi ia juga ingin bekerja seperti Joni, disisi lain, ia sadar ilmu dan modal yang ia miliki belum cukup untuk dibawa merantau. Sejak saat itu Ucup akhirnya lebih banyak menghabiskan waktunya bekerja di kampungnya. 
31 Desember 2039
Hari ini Joni mengambil keputusan besar dalam hidupnya, ia memberi tahu istrinya kalau ia sudah mengajukan pensiun dini ke perusahaannya dan tidak lagi merantau. Joni memutuskan ingin fokus mengelola bisnisnya dan lebih banyak waktu dengan istri dan anak anaknya di rumah. Malam tahun baru ini Joni ingin lewati bersama keluarganya dirumah, dan diawal tahun depan ia sudah begembira karena kini ia bisa menghabiskan banyak waktu dirumah dan tidak merantau lagi. Hari ini pun Joni sudah menyiapkan ikan bakar untuk pesta tahun baru dan beberapa kerat Bir untuk teman-temannya yang sudah ia undang untuk datang ke rumah. Sore itu juga Joni mendatangi rumah Ucup untuk mengundangnya ke rumahnya nanti malam untuk merayakan tahun baru. Namun sayang, Ucup tidak ada dirumah, ia kini sulit ditemui. Ucup bekerja pagi siang, hingga larut malam. Bahkan di tahun baru Ucup masih mengambil lembur. Diusianya yang sudah memasuki kepala empat, Ucup haru bekerja keras untuk menghidupi keluarganya hingga ia jarang di rumah. Joni pun merayakan tahun baru tanpa ada Ucup. Malam itu sekilas Joni mengingat kembali hidupnya, ia merasa dalam hidupnya ia dua kali memasuki periode menjadi anak rumahan, pertama ketika masih  SMP dan SMA ia banyak dirumah untuk belajar, sedangakan setelah kuliah ia melanglang buana ke berbagai pelosok untuk bekerja, dan kini diusianya yang sudah memasuki usia kepala empat, ia lebih banyak dirumah, mengurus bisnis dan menulis buku. Sesekali ia menyempatkan diri bepergian ke luar pulau untuk liburan bersama keluarganya. Joni berusaha mengambil nilai positif dalam hidup yang sudah ia lalui untuk diteruskan ke anak-anaknya.
“Ayah, aku mau pergi ke balai Desa ya!” teriak Jonatan anak sulung Joni yang ingin berangkat ke balai Desa untuk merayakan malam tahun baru bersama pemuda desa. Teriakannya langsung membuyarkan lamunan Joni.
“Ya boleh, hati-hati ya” kata Joni sambil tersenyum pada anaknya.
“ Acaranya mungkin sampai subuh atau sampai pagi Yah, apa tidak apa-apa?” Tanya Jonatan pada ayahnya.
“Prediksi Ayah mungkin kamu akan memutuskan untuk pulang sendiri jam setengah satu malam” kata Joni
“Kok ayah bisa memprediksi seperti itu?” Jonatan heran.
“ Pesan ayah nanti malam ikuti kata hatimu kalau kamu merasa ada yang salah”
Jonatan masih bingung dengan perkataan ayahnya, iya pun tetap bergegas ke balai desa dan Joni menghabiskan sebotol bir nya sambal memikirkan bisnis bisnisnya yang akan ia kembangkan lagi di awal tahun ini.

PS: foto diatas bukan Joni, hanya ilustrasi.