Selasa, 30 April 2019
Hari ini ada hal yang
sedikit berbeda dari rutinitas pekerjaan saya, Hari ini saya akan
mempresentasikan sebuah alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya over cut
dalam kegitan penambangan, dalam acara perlombaan terkait inovasi karyawan yang
di selenggarakan oleh perusahaan tempat saya bekerja. Idenya sederhana,yakni
menggabungkan GPS murah, perangkat Arduino dan lampu LED untuk menunjukkan dimana
letak batas design penambangan. Apabila alat berat melewati batas yang
ditunjukkan maka lampu pada alat akan menyala, sehingga kegiatan penambangan
tidak melewati batas yang ditentukan. Kalau rekan saya yang sudah mengikuti
blog saya ( www.madesapta.com) dari
tahun 2015, tentunya tidak akan asing lagi dengan alat ini.
Alat ini sebenarnya
merupakan modifikasi dari alat yang saya buat sewaktu kuliah di Teknik Geodesi
UGM bersama saudara Imad dan Bagas Lail, teman kuliah di UGM yang kini sudah
menempuh jalannya masing-masing. Dulu kami beri nama alat ini Swates yang
berarti Suwanten Wates (Suara Perbatasan). Alat ini ditujukan bagi nelayan
Indonesia yang mencari ikan di wilayah perbatasan. Maraknya kasus penangkapan
nelayan di wilayah perbatasan mendorong kami para mahasiswa pada saat itu untuk
membuat alat untuk membantu nelayan menunjukkan dimana letak batas maritime yang
ada.
Sudah empat tahun
setelah alat ini dibuat, kini saya modifikasi kembali alat ini untuk digunakan
di pertambangan. Namun sehari setelah saya presentasi alat ini untuk digunakan
di dunia tambang, banyak media di Indonesia memberitakan mengenai kapal TNI
ditabarak kapal Vietnam. Tentunya kasus ini juga erat kaitannya dengan batas maritime.
Melihat bertita ini, teringat seorang sosok guru yang mengajarkan saya banyak
hal dan sekaligus membimbing saya membuat alat swates di UGM pada waktu kuliah,
beliau bapak Andi Arsana yang juga seorang pakar dalam batas maritime . Saya
penasaran dengan kasus Vietnam, waktunya meminta kuliah singkat via telepon
dengan sang pakar.
“Apa kabar tentang
Vietnam?” langsung saya tanyakan malam tadi ketika menelepon dengan ahlinya.
Langsung beliau menjelaskan kembali seperti kisah klasik masa kuliah yang kadang
dirindukan. Intinya belum ada kesepakatan batas laut antara Indonesia dengan
Vietnam. Lalu apa yang terjadi ketika nelayan Vietnam menangkap ikan di laut
yang belum disepakati batasnya? Tentu saja salah, karena belum jelas siapa
pemilik ikannya. Lalu bagaimana kalau peerintah Indonesia menangkap nelayan tersebut?
Bisa juga dibilang salah, karena belum tentu juga ikannya milik Indonesia.
Selama belum ada kesepkatan batas laut, Indonesia dan Vietnam sama-sama
menentukan klaim batas sepihak, apa
akibatnya? Mungkin di mata Vietnam, Indonesialah yang salah, dan di mata
Indonesia, Vietnam lah yang salah. Mungkin seperti itu. Apa yang harus
dilakukan? Menurut saya pribadi, merpercepat penetapan batas laut Indonesia dengan
Vietnam dapat mengurangi konflik.
Namun terkadang
berita di media yang kita dengar terlalu heboh dengan kenyataan sebenarnya,
dilaut bisa saja nelayan di tangkap, di darat mungkin diplomat Indonesia dengan
Vietnam sedang ngopi bareng sambil mendiskusikan batas maritime ke dua Negara.
Entahlah. Tulisan ini harus saya sudahi, karena harus mengirimkan script Matlab
mengenai prediksi pasang surut laut ke Thirh Tam, teman saya asal Vietnam yang
sedang menempuh study Oceanografi di Vietnam.
PS:
Foto tahun 2015 di sebuah hotel di Bali, ketika menemani pakar batas maritime
presentasi mengenai perbatasan.