Saturday, November 4, 2017

Merantau



Balikpapan, 4 November 2017
Hari ini saya menempuh perjalan cukup panjang. Saya akan menuju lokasi kerja saya, yakni di Tarakan. Dari Denpasar terlebih dahulu saya harus terbang ke Surabaya untuk transit selama 1,5 jam. Kemudian dari Surabaya saya terbang ke Balikpapan. Di Balikpapan saya menunggu 4 jam kemudian ganti pesawat. Baru kemudian terbang kembali ke Tarakan. Sampai di Tarakan saya belum benar-benar sampai di lokasi kerja, saya masih berada di support officenya saja, baru besok pagi saya naik speed boat untuk menuju lokasi kerja. Mungkin bagi seorang lulusan Geodesi, perjalanan ini adalah perjalanan biasa saja. Karena memang beberapa bidang pekerjaan terkait Geodesi berada tidak di pusat kota, dunia pertambangan salah satunya.
Namun kisah perjalanan ini mungkin akan berbeda jika diceritakan kepada Ibu saya, bibi saya, atau beberapa tetangga yang ada di desa. Naik pesawat adalah “barang mahal” di desa. Beberapa kali saya pulang kampung, ada saja yang menanyakan, “Nyen ajak mulih?” (Pulang dengan siapa?). Tentu saja jawabannya sendiri. Maka akan ada sebagian moms jaman old heran, “berani pulang sendiri??”. Hell yeaahh man!! Tentun saja berani. (Tentu saja tidak saya jawab seperti itu). Belum lagi saya jelaskan jika pulang dari Tarakan, saya harus 3 kali naik pesawat, menuju Balikpapan, turun di Makasar baru kemudian terbang ke Bali. Maka beberapa rekan Ibu saya yang sehari-hari bergelut dengan daging babi dengan upah 40 ribu per hari sama seperti Ibu saya akan mengatakan “Nak kude meli tiket pesawat?” (Berapa beli tiket pesawat?). Jawabannya adalah tiketnya dibelikan perusahaan, persetanlah dengan harganya. Tentu saja jika saya meminta uang kepada Ibu saya, dengan gaji 40 ribu sehari, sebulan misalnya 30 hari kerja maka penghasilan sebulan 1,2 juta, mungkin Ibu saya bekerja satu bulan tidak cukup untuk membelikan saya tiket pulang pergi ke tempat kerja. Memang pendidikanlah yang sudah menyelamatkan saya, dan beasiswa bidikmisi, dan kerja keras untuk mau maju.
Teringat di masa SMA dulu, ketika itu saya menyibukkan diri dengan segudang kegiatan ekstrakulikuler, organisasi dan diiisi dengan les tambahan, suatu ketika di sore hari (*kok jadi gini kata-katanya), ada seseorang dengan santainya mencibir “Aeng sibuk gen, nyen kal ganti?” (Sibuk banget kamu, mau ganti siapa?). Kata-kata dan ekspresi wajah orang tersebut masih tersimpan jelas dalam memori saya. Waktu itu saya hanya diam dan tak menjawab, sangat malas meladeni orang tua yang berkata seperti itu. Kini sudah hampir 7 tahun setelah kejadian itu, dan saya merasakan nikmat hasil dari kesibukan yang positif dulu. Saya memang tidak “mengganti” siapa-siapa, tapi saya menyelamatkan masa depan saya sendiri, masa depan keluarga saya, dan masa depan orang yang saya cintai dan akan saya jadikan keluarga. Lagi pula untuk apa menggantikan orang lain kalau kelak bisa menjadi figure diri sendiri yang nantinya orang lain ingin menggantikan. Mungkin saat ini saya masih berproses dalam menyususun masa depan, namun jika melihat rekan-rekan sebaya dilingkungan saya, khususnya di Bali, saya merasa sangat bersyukur. Banyak rekan saya yang harus membayar sekian puluh juta dulu untuk mendapatkan pekerjaan santai namun gajinya juga tidak seberapa, atau ada yang bekerja dengan gaji yang dibandingkan dengan biaya bensin untuk ketempat kerja ditambah tempat kos hampir sama. Apakah mereka salah memilih perkerjaan? Tentu saja tidak, ketiadaan pilihan lain membuatnya seperti itu. Tapi benarkah tidak ada pilihan? Atau mungkin kesalahan di masa lalu?
Di masa SMP dan SMA saya mungkin bisa dikatan kurang bergaul di lingkuangan pemuda di rumah. Hal ini dikarenakan saya lebih memilih untuk menyibukkan diri di sekolah. Dan terlebih lagi, ketika bergaul dilingkungan rumah, kebanyakan kegiatan diisi dengan duduk dipinggir jalan sambal menghabiskan rokok dan minuman, and I think its was so wasting time. Tapi untunglah, saat ini saya merasa bersyukur memilih untuk menyibukan diri di sekolah kala itu, sehingga banyak kemudahan yang saya peroleh sekarang. Trust me its work!
Selama pulang dari merantau, ada ada saja cerita dari orang tua saya yang membuat saya “geli”, beberapa rekan orang tua saya bertanya, “Siapa yang mencarikan kerja anaknya dan nyogok berapa?” Saya tertawa sekaligus emosi mendengar pertanyaan seperti ini. Saya yakin masih banyak mindset orang tua di Bali yang berpikir untuk mencari kerja kita harus punya relasi dan mau mengeluarkan uang terlebih dahulu. Saya yakin, jika kita orang Bali selalu berpikir seperti ini, maka sawah di Bali akan habis dijual untuk menyogok mencari kerja. Dan entah sampai berapa lama modal akan kembali untuk bisa membeli sawah lagi. Bayangkan saja, saya kuliah jauh-jauh keluar bali, lalu begitu selesai kuliah, saya meminta dicarikan pekerjaan kepada orang tua saya yang tidak pernah kuliah, lalu apa gunanya kuliah? Tentu saja itu adalah sebuah kesalahan. Hal ini yang selalu saya tekankan pada orang tua saya, kalau diluar sana saya masih bisa mencari kerja murni dengan kemampuan saya sendiri tanpa harus mengeluarkan dana sepeserpun. Saya berharap ada lebih banyak orang tua dan anak muda yang menyadari hal tersebut.
Tapi benarkah dengan tulisan sederhana ini mindset orang-orang akan berubah? Saya rasa tidak juga, mungkin benar perkataan orang tua di desa dulu, mungkin saya harus menggantikan posisi orang penting di Bali untuk menjelaskan maksud tulisan ini dan membuatnya menjadi nyata dan mudah dilakukan. Biarkan waktu menjawab sembari saya melanjutkan merantau mencari nafkah dan modal nikah.

Dalam hiruk pikuk bandara di Balikpapan
Made Sapta