Saturday, July 10, 2021

Genjo Darurat

               

                 


Hari ini Genjo sedikit panik, bosnya yang berada di Jakarta menelponya tiba-tiba. Ia diminta segera datang ke Jakarta karena ada urusan pekerjaan yang harus Genjo selesaikan. Genjo adalah seorang pegawai bank swasta di Jakarta, namun selama PPKM Darurtat ini ia bekerja dari rumahnya di sebuah Desa kecil di Bali.

            “Genjo tolong pastikan kamu memiliki surat keterangan vaksinasi tahap pertama dan  cari tempat untuk bisa melaksanakan tes PCR sehari jadi, 3 hari lagi kamu harus berangkat ke Jakarta”, begitu instruksi singkat atasan Genjo kepadanya. Genjo terdiam dan berpikir sejenak. Ia belum melaksanakan vaksinasi dan tidak tahu dimana tempat melaksanaakan tes PCR. Segera ia menghubungi beberapa rekannya yang bekerja di rumah sakit dan akhirnya menemukan kedua lokasi yang ia butuhkan. Genjo mendapati tempat mendapatkan vaksin di sebuah rumah sakit dekat rumahnya.  Namun Ia harus datang dini hari sekali, untuk mengambil formulir registrasi. Genjo mendapati dirinya melaksanakan vaksin pukul 10 pagi, dua hari sebelum hari keberangkatannya  ke Jakarta. 30 menit sebelum jadwal tes vaksin, Genjo sudah tiba dilokasi vaksin. Genjo kaget, begitu tiba dilokasi vaksin, lokasi sudah ramai, banyak kerumunan dan tidak menjaga jarak satu sama lain. Genjo merupakaan orang yang disiplin, ia sangat taat pada prokes dan selalu menjaga kebersihan. Kali ini Genjo harus bergabung dikerumunan ini, ia harus menerobos kerumunan untuk menyerahkan formulis registrasi lewat lobang di pintu gerbang yang sudah dijaga seorang petugas. Rupanya kerumunan ini adalah orang-orang yang menyerahkan formulir registrasi, dan menunggu untuk dipanggil untuk divaksin. Karena tidak ada tempat yang memadai untuk menunggu, serta tidak tahu urutan siapa yang akan dipanggil, terpaksa semua orang menunggu di depan gerbang, ditambah lagi suara panggilan yang tidak terlalu terdengar jika menunggu jauh dari gerbang, jadilah kerumunan ini terbentuk dan Genjo tergabung di dalamnya. Dalam hatinya, Genjo sebenarnya kesal, selama ini ia mendukung gerakan pemerintah  agar tidak ada kerumunan di rumah makan, tempat hiburan, tempat wisata dan lain-lain, namun kali ini malah ia ikut membuat kerumunan di tempat vaksin.

            Setelah dua jam dilokasi vaksin, Genjo telah memegang lembar bukti vaksin dosin satu. Langsung ia kemudian bergegas menuju sebuah klinik yang direkomendasikan temannya untuk melaksankan tes PCR sehari jadi. Genjo melakukan registrasi, lalu kaget ketika petugas dengan ramah dan lembut mengatakan “biayanya 1 juta seratus ya Pak”. Genjo tidak mengira biayanya semahal ini. Selama ini Genjo juga orang yang dispilin masalah keuangan, ia selalu merencanakan pengeluarannya setiap bulan, apalagi di masa pandemi ini penghasilannya banyak dukurangi karena lebih banyak bekerja dari rumah, namun biaya PCR ini tidak masuk dalam perhitungannya. Walau begitu ia pada akhirnya ia tetap membayarnya. Genjo akhirnya mengikuti tes PCR dan sangat yakin hasilnya tentu akan negatif, karena sehari sebelumnya ia sudah minum susu beruang pagi, siang dan malam.  Tepat pukul 10 malam, Genjo mendapati hasil PCRnya negative dan segera memberi tahu bossnya sudah melengkapi semua persyartan dan siap berangkat dua hari lagi sesuai instruksi bossnya sebelumnya.

            Hari keberangkatan tiba, pagi sekali Genjo sudah rapi, lengkap dengan masker double dan semprotan pembersih tangan di sakunya. Sebelum ia berangkat ke bandara, ia mendapati pesan singkat di handphonenya. Celaka, hal tak terduga pun datang. Pesawat yang ditumpangi Genjo dibatalkan penerbangannya. Genjo dengan sedikit panik, segera menelepon bossnya dan menjelaskan situasinya kepada bosnya. Akhirnya Genjo tetap diminta menuju bandara, dan bosnya akan mengusahakan membelikan tiket lain untuk menuju Jakarta. Hingga 1,5 jam Genjo menunggu di Bandara, akhirnya bossnya menelepon dan tidak mendapatkan tiket lain dihari itu menuju Jakarta.

Pada akhirnya Genjo diminta untuk berangkat esok hari, dan harus tes PCR ulang skali lagi karena hasil PCR ini hanya berlaku dua hari. Hati Genjo gundah, Ia memikirkan lagi biaya tes PCR, ditambah lagi hari ini hidungnya sedikit mampet dan beberapa kali bersin-bersin, belum minum susu beruang pula. Genjo segera keluar Bandara dan mencari ojek untuk mengantrnya ke klinik untuk tes PCR kembali. Pada saat keluar Bandara, Genjo dihampiri seorang Bapap-Bapak yang sudah agak tua, dengan pakaian lusuh dan sedikit kotor. “Ayo Pak, naik ojek motor saya Pak”, melihat penampilannya, Genjo tidak berminat, apalagi Genjo adalah orang yang suka kebersihan. Namun bapak-bapak berpakaian lusuh itu bersikeras, “ Tolong Pak, naik ojek sama saya Pak, biar bisa beli beras Pak, bayar berapa saja boleh Pak”. Sekejap Genjo terdiam, Ia teringat dirinya sendiri dulu saat pernah tidak bisa membeli beras untuk keluarganya karena tidak punya uang. Genjo paham bagaimana rasanya keadaan itu. Genjo kini menggunakan hati nuraninya, Ia tidak peduli lagi penampilan Bapak ojek yang lusuh dengan beberapa noda kotornya. Ia langsung naik ojek dan memintanya mengatar ke klinik.

Sebelum membayar tes PCR, Genjo terlebih dahulu memberi tahu istrinya akan menggunakan uang SPP anaknya yang tetap harus dibayar, walau anaknya tak pernah ke sekolah untuk digunakan membayar tes PCR. Walau sedang pilek, Ia tetap menjalankan tes PCR, karena bossnya sudah mencarikan tiket untuk keberangkatan esok hari. Malam hari, hasil tes keluar dengan hasil negatif. Genjo senang namun juga ada pertanyaan, sebenarnya seperti apa alat tes PCR itu? Ia hanya memasukan alat seperti pembersihan telinga ke hidungnya, dan keluar hasil negative, walaupun waktu itu Ia pilek. Belum lagi masa berlakunya hanya dua hari. Genjo ingat dulu dia pernah tes antibody, dimana tes itu katanya tidak seakurat PCR tapi bisa berlaku hingga 14 hari, biayanya lebih murah pula. Ia juga ingat ada alat tes lain buatan kampus UGM, dengan harga tes murah namun katanya tidak bisa digunakan lagi dimasa darurat ini.  Genjo benar-benar bingung, Ia ingin kesal kepada yang membuat aturan, tapi sadar diri dia bukanlah siapa-siapa dan tidak ada tempat mengadu. Ia hanya bisa pasrah dan mengikuti aturan, walaupun itu memberatkannya. Sudahlah pikir Genjo.

 Genjo kembali memberi tahu bossnya bahwa besok siap berangkat ke Jakarta, pesan bossnya malam itu, “Genjo, besok jaga diri selama di perjalanan ya, kemungkinan kamu akan tes PCR lagi di Jakarta, karena kamu akan saya tugaskan ke beberapa kota untuk bertemu Debitur, dan ada banyak pemeriksaan berkas kesehatan di jalan”. Mendengar pesan itu, Genjo terdiam sesaat, lalu berbicara kepada istrinya “Ma, bagaimana kalau aku berhenti menjadi pegawai Bank, dan membuka klinik tes PCR? Ini bisnis menjanjikan!” Malam itu Genjo tidak bisa tidur dan mulai menghitung berapa kira-kira biaya yang diperlukan untuk membuka sebuah klinik untuk tes PCR.


note: kisah fiksi. (?)

3 comments: