Berbicara soal Pengelolaan Wilayah Pesisir, tidak
bisa hanya membahas mengenai bagaimana cara membuat wilayah pesisir menjadi indah
dan mempesona seperti Marina Bay yang ada di Singapur atau membahas bagaimana
cara menghilangkan sampah di laut. Ada 1 aspek yang perlu diketahui setiap
orang yang ingin melakukan pengelolaan wilayah pesisir, aspek tersebut yakni
aspek Hukum. Aspek hukum diperlukan agar kita tahu apa saja yang menjadi kewenangan
dan tanggung jawab pemerintah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, serta tahu
dimana kita bisa berperan dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir agar
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
Pengelolaan Wilayah Pesisir sebenarnya sudah diatur
dalam UU No. 27 tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil, namun kemudian ada perubahan mengenai UU No. 27 tahun 2007 yang
dijelaskan dalam UU No. 1 tahun 2014.
Alasan mengenai kenapa dilakukan perubahan
disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 2014
pada bagian “menimbang” point b,yakni dijelaskna bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab
negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil
sehingga beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum di masyarakat. Kalimat “belum memberikan kewenangan dan
tanggung jawab Negara secara memadai” perlu digaris bawahi. Artinya pasal UU
No.1 Tahun 2013 dibuat untuk memperjelas kewenangan dan tanggung jawab Negara didalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil.
Adapun beberapa pasal pada Undang-Undang No.27 tahun
2007 yang disempurnakan pada Undang-Undang No.1 tahun 2014 yakni
1.
Pasal 1
Pada pasal 1 ada beberapa angka yang diubah
antara lain angka 1, angka 17, angka 18, angka 19, angka 23, angka 26, angka
28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44
diubah, dan di antara angka 18 dan angka 19 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka
18A, serta di antara angka 27 dan angka 28 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka
27A. Berikut penjelasan masing-masing angka yang mengalami perubahan.
Ayat 1: “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan,pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu
pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat” diubah menjadi “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu
pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”.
Ada penambahan kata “pengkoordinasian” serta kata “dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah” . Hal ini digunakan untuk mempertegas bahwa Pemerintah dan Pemerintah daerah berperan
dalam proses pengoordinasian
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil.
Ayat 17: Berisi
penjelasan mengenai Rencana Zonasi Rinci. Pada UU No.27 tahun 2007 Rencana
Zonasi Rinci dijelakan bisa diterbitkan oleh Pemerintah Daerah sedangkan pada
UU No.1 tahun 2013, disempurnakan lagi yakni bahwa Rincian Zonasi Rinci dapat
diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Berikut isi dari pasal 1
ayat 17 yang sudah disempurnakan “Rencana
Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan
pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan
dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya
menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.”
Ayat 18: Pada
UU No.27 tahun 2007 ayat 18 membahasa mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
yang selanjutnya disebut HP3, pada UU No.1 Tahun 2013, HP3 ini dihapuskan dan
diganti menjadi Hak Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan yang diatur secara
berturut-turut dalam pasal 1 ayat 18 dan ayat 18A. HP3 ini dihapuskan karena
rentan terjadinya penyalahgunaan Hak, dan dimungkinkan adanya transaksi fiktif
atas Perairan Pesissir. Selain itu Mekanisme HP-3 mengurangi hak penguasaan
negara atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ayat 19: Pada
ayat 19 ini hanya terdapat sedikit penyempurnaan dibagian redaksional yakni
kata “perlindungan” diganti menjadi “pelindungan”.
Ayat 23: Menjelaskan
mengenai pengertian reklamasi, ada sedikit penyempurnaan pada ayat 23 ini,
yakni sebelumnya kata “Reklamasi adalah
kegiatan yang dilakukan oleh Orang…” ditambahkan kata “Setiap” sebelum kata orang sehingga ayat 23 menjadi “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh
Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari
sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan
atau drainase.”. Maksud penambahan kata “Setiap” ini dimaksudkan untuk
memperjelas pelaku dari kegiatan reklamasi itu sendiri.
Ayat 26: Ayat
26 membahas mengenai bencana pesisir, adapun perubahan yang dilakukan yakni
penambahan kata “Setiap” pada kalimat
“Bencana Pesisir adalah kejadian karena
peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap
Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan
mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.”
Ayat 27A:
Pada UU No.1 Tahun 2013 ada penambahan ayat yakni ayat 27A yang sebelumnya
tidak ada pada UU No. 27 tahun 2007. Ayat 27A ini membahas mengenai Dampak
Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis.
Ayat 28: Membahas
mengenai Pencemaran lingkungan, penyempurnaan yang dilakukan juga melakukan
penambahan kata “Setiap” untuk
memperjelas pelaku yang melakukan pencemaran lingkungan.
Ayat 29: Ayat
29 menjelaskna mengenai akreditasi. Penyempurnaan yang dilakukan bersifat
redaksional, yakni kata “program-program” diubah menjadi “program” agar kalimat
menjadi lebih efektif.
Ayat 30: Menjelaskan
mengenai pemangku kepentingan utama. Terdapat penambahan kalimat “yang mempunyai kepentingan langsung dalam
mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”. Penambahan
ini tujuannya untuk memperjelas bahwa pemangku kepentingan utama adalah para
pengguna sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai kepentingan
langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Selain itu, kata pesisir diakhir kalimat pada UU no.27 tahun 2007
dihapuskan. Kemudian diperjelas lagi bahwa pemangku kepentingan utama itu bisa tradisional,
nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan,
dan Masyarakat.
Ayat 31: Menjelaskan
mengenai pemberdayaan masyaryakat, penyempurnaan yang dilakukan yakni kata
“Masyarakat pesisir” diganti dengan “Masyarakat dan Nelayan Kecil”.
Ayat 32: Menjelaskan
mengenai definisi masyarakat. Kata “Masyarakat adat” diganti menjadi
“Masyarakat Hukum Adat” hal ini untuk menegaskan bahwa Masyarakat adat juga berlandaskan
pada hukum. Selain itu juga juga, ditambahkan kata “masyarakat tradisional”,
agar definisi masyrakat dalam Ayat 32 juga mencakup Masyarakat Tradisional.
Ayat 33: Awalnya
berisi penjelasana mengenai Masyarakat adat kemudian diubah menjadi penjelasan
mengenai Masyarakat Hukum Adat.
Ayat 38: Yang
dimaksud setiap orang pada UU No.1 tahun 2014 diperinci lagi dan dijelaskan
bahwa setiap orang yang dimaksud adalah orang perseorangan atau korporasi, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Ayat 44: Menjelaskan
pengertian mengenai menteri, penyempurnaan yang dilakukan yakni pada UU No.1
tahun 2014 disebutkan bahwa Menteri merupakan sebagai penyelenggara urusan
pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, dan bukan hanya sekedar penanggung
jawab.
2.
Pasal 14
Ayat 1: Pada
ayat 1 penyempurnaan yang dilakukan yakni usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K,
RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K yang sebelumnya hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah dan dunia usaha, setelah disempurnakan dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah, Masyarakat, dan dunia usaha.
Ayat 7: Pada
UU No.27 tahun 2007, pasal 14 ayat 7 menyebutkan “Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
tidak dipenuhi, maka dokumen final perencanaan pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dimaksud
diberlakukan secara definitive”. Selanjutnya pada UU No.1 Tahun 2014 diubah menjadi
“Dalam hal tanggapan dan/atau saran
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, dokumen final perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara
definitif.”. Terdapat penghapusan kata “maka”
hal ini bersifat redaksional, agar kalimat lebih efektif dan efisien.
3.
Judul Bagian
Kesatu pada Bab V diubah yang awalnya “Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir” diubah menjadi “Izin”. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir ini dihapuskan alasannya
sama dengan pasal 1 ayat 18 yang juga dihapus bagian mengenai HP3 karena rentan
terjadinya penyalahgunaan Hak, dan dimungkinkan adanya transaksi fiktif atas
Perairan Pesissir.
4.
Pasal 16
Ayat
1 dan Ayat 2 pada pasal 16 diubah karena masih menggunakan HP3, selanjutnya
pada pasal 16 Ayat 1 dan 2 diubah menjadi seperti berikut iI
Ayat 1:
“Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan
ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil
secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi.”
Ayat 2:
“Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan”.
Pasal 16 ini disempurnakan untuk
memperjelas kegunaan fungsi izin lokasi dan izin pengelolaan, selai itu juga
untuk menghindari adanya penyalahgunaan dalam pemanfaatan Perairan Pesisir.
5.
Pasal 17
Pasal
17 yang sebelumnya juga berisi penjelasan mengenai HP3 juga diubah, dari 2 Ayat
menjadi 4 Ayat pada UU No.1 Tahun 2014. Ke empat ayat tersebut berisi
penjelasan mengenai Izin Lokasi, yang menekanakan bagaimana pemberian Izin
Lokasi sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemberian izin lokasi karena
sudah diatur dengan jelas. Berikut penyempuranaan pasal yang dilakukan:
Ayat 1:
“Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil.”
Ayat 2:
“Pemberian Izin Lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan
pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan
hak lintas damai bagi kapal asing.”
Ayat 3:
“Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.”
Ayat 4:
“Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada
zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.”.
6.
Pasal 18
Pada
UU No.27 tahun 2007 Pasal 18 masih menggunakan HP3 sehingga pasal 18 diubah, karena
HP3 tidak sudah dihapuskan karena berpotensi menimbulkan penyalahgunaan
Perairan Pesisir, selanjutnya pasal 18 menjelasakan mengenai Pemegang Izin
Lokasi.
7.
Pasal 19
Pasal
19 juga masih menggunakan HP3 sehingga dilakukan perubahan, pasal 19 yang
disempurnakan sebagai berikut:
Ayat 1: Setiap Orang
yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
a. produksi garam;
b. biofarmakologi laut;
c. bioteknologi laut;
d. pemanfaatan air laut selain energi;
e. wisata bahari;
f. pemasangan pipa dan kabel bawah
laut; dan/atau
g. pengangkatan benda muatan kapal
tenggelam,
wajib memiliki Izin Pengelolaan
Ayat 2: “Izin
Pengelolaan untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Ayat 3: Dalam hal
terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Pasal 20
Pada
UU No.27 Tahun 2007 Pasal 20 berisi:
Ayat 1: HP-3 dapat
beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak
tanggungan.
Ayat 2: HP-3
diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3.
Ayat 3:HP-3 berakhir karena:
a.
jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang lagi;
b.
ditelantarkan; atau
c.
dicabut untuk kepentingan umum.
Ayat 4: Tata cara pemberian, pendaftaran, dan pencabutan HP-3
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian
pada UU No.1tahun 2014 pasal 20 diubah menjadi:
Ayat 1: Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Masyarakat
Lokal dan Masyarakat Tradisional.
Ayat 2: Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional, yang melakukan pemanfaatan
ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil, untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Perubahan yang dilakukan yakni
menghilangkan penggunaan HP3 pada pasal 20, kemudian dilakukan penambahan peran
pemerintah dan pemerintah daerah mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan
serta penerima Izin tersebut.
9.
Pasal 21
Pada
pasal 21 dilakukan penghapusan aturan mengenai HP3 kemudian asal 21 diubah
menajdi:
Ayat 1: Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan
Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh
Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.
Ayat 2: Pemanfaatan
ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan
kepentingan nasional dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aturan
ini ditambahkan agar pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan
Peraiaran Pulau-Pulau Kecil dapat terlaksana dengan tepat.
10. Pasal 22
Aturan
mengenai HP3 diubah dengan aturan mengenai kewajiban memiliki izin dan
Masyrakat Hukum Adat, semuanya diatur dalam Ayat 1 dan Ayat 2.
11. Pasal 22A
Merupakan
pasal yang baru ditambahkan, sebelumnya tidak ada pada UU No. 7 tahun 2014.
Penambahan dilakukan agar izin lokasi yang diberikan tepat sasaran.
12. Pasal 22B
Merupakan
pasal yang baru ditambahkan, sebelumnya tidak ada pada UU No. 7 tahun 2014.
Penambahan dilakukan agar orang perseorangan warga Negara Indonesia atau
korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk
oleh Masyarakat yang mengajukan Izin Pengelolaan memenuhi syarat teknis, administratif, dan
operasional dalam mengajukan perijinan.
13. Pasal 22C
Merupakan
pasal yang baru ditambahkan, sebelumnya tidak ada pada UU No. 7 tahun 2014.
Penambahan dilakukan agar ada kejelasan mengenai syarat, tata cara pemberian,
pencabutan, jangka waktu, luasan, dan berakhirnya Izin Lokasi dan Izin
Pengelolaan.
14. Pasal 23
Ayat 2: Menjelaskan mengenai pemanfaatan pulau-pulau kecil
dan perairan disekitarnya. Terdapat penambahan yakni pulau-pulau kecil dan
perairan juga diperuntukan untuk pertahanan dan keamanan Negara.
Ayat 3: Membahas menganai konservasi, perunbahan yang
dilakukan yakni jika digunakan untuk konservasi maka juga harus memperhatikan kemampuan
dan kelestarian sistem tata air setempat.
15. Pasal 26A
Merupakan
basal yang baru ditambahkan sebelumnya tidak ada pada UU No.27 thaun 2007. Berikut isi paalnya.
Ayat 1: Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan
perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin
Menteri.
Ayat 2: Penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mengutamakan kepentingan nasional
Ayat 3: Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah mendapat rekomendasi dari bupati/wali kota
Ayat 4: Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas;
b.
menjamin akses publik;
c.
tidak berpenduduk;
d.
belum ada pemanfaatan oleh Masyarakat Lokal;
e.
bekerja sama dengan peserta Indonesia;
f.
melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia;
g.
melakukan alih teknologi; dan
h.
memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.
Ayat
5: Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan saham dan luasan lahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f dan huruf h diatur dengan Peraturan
Presiden.
Penambahan
pasal ini alasannya agar apabila terdapat modal asing yang melakukan
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya, bisa lebih mengutamakan
kepentingan nasional.
16. Pasal 30
Membahas
mengenai Zona Inti, terdapat penambahan ayat, pada UU No. 1 tahun 2014 terdapat
4 ayat. Pada Pasal 30 yang sudah disempurnakan terdapat peran menteri didalam
pengelolaan Zona Inti.
17. Pasal 50
Pasal
50 pada UU No. 27 tahun 2007 dijelaskan mengenai pemberian HP3, namun karena
HP3 sudah dihapuskan maka pada UU no.1 tahun 2014, pemberian HP3 diubah menjadi
pemberian izin lokasi yang dapat diberikan oleh Menteri, Gubernur dan
Bupati/Walikota yang berwenang.
18. Pasal 51
Terdapat
perubahan pada pasal 51 karena masih menggunakan HP3 selanjutnya pada UU No. 1
tahun 2014,diubah menjadi sebagai berikut ini:
Ayat
1 Menteri berwenang:
a.
menerbitkan dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan
perairan di sekitarnya yang menimbulkan Dampak Penting dan Cakupan yang Luas
serta Bernilai Strategis terhadap perubahan lingkungan; dan
b.
menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional.
Ayat
2: Ketentuan mengenai tata cara penerbitan dan pencabutan izin serta perubahan
status zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal
ini disempurnakan agar menteri mempunyai wewenang dalam pemberian izin lokasi
dan perubahan status zona inti, sehingga lebih mudah bagi pemerintah untuk
mengatur masalah perizinan.
19. Pasal 60
Pada
Ayat 1 dan Ayat 2 menjelaskan Hak dan Kewajiban Masyarakat dialam Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada UU No.27 tahun 2007 bagian hak masyarakat
masih menggunakan HP3, sehingga pada Pada UU No. 1 tahun 2014 HP3 diganti
dengan izin lokasi dan izin pengelolaan.
20. Pasal 63
Ayat
2 pada UU No 27 tahun 2007 menjelaskna “Pemerintah
wajib mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang Pengelolaan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berdaya guna dan berhasil guna.”.
Kemudian disempurnakan menjadi “Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui
peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan,
infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.”.
Perubahan yang dilakukan agar pemerinta dan pemerintah daerah saling bekerja
sama didalam mendorong kegiatan usaha masyarakat.
21. Pasal 71
Pad
UU No 27 tahun 2007 pasal 71 berisi aturan mengenai pelanggaran terhadapa HP3
dan sanksi administratifnya kemudian aturan ini diubah menjadi aturan mengenai
pelanggrana terhadap izin lokasi dan izin pengelolaan beserta sanksi administratifnya.
Hal ini dilakukan agar semua orang tidak melanggar ketentuan mengenai izin
lokasi dan izin pengelolaan.
22. Pasal 75
Pasal
75 diubah karena masih menggunakan HP3, kemudian Pasal 75 yang sudah
disempurnakan menjelaskan sanksi yang diberikan apabila melakukan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa menggunakan izin lokasi. Berikut
penjelasan pada pasal 75: “Setiap Orang
yang memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian
pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”. Pasal ini
juga dibuat agar setiap orang menggunakan izin lokasi.
23. Pasal 75A
Meruapakan
pasal yang baru ditambahkan pada UU No.1 tahun 2014, sebelumnya tidak
dijelaskan dalam UU No.27 tahun 2007. Pasal 75A berisi penjelasan mengenai
sanksi apabila Setiap Orang yang
memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang
tidak memiliki Izin Pengelolaan. Pasal ini dibuat agar setiap orang menggunakan
izin pengelolaan dalam memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil.
24. Pasal 78A
Merupakan
pasal yang baru ditambakan pada UU No.1 tahun 2014, berikut isinya “Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan
sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan Menteri.” Pasal
ini digunakan untuk memperjelas kewenangan menteri dalam mangatur kawasan
konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
25. Pasal 78B
Merupakan
pasal yang baru ditambakan pada UU No.1 tahun 2014, berikut isinya: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
izin untuk memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau
kecil yang telah ada tetap berlaku dan wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang
ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun.”. Pasal ini dibuat
agar izin yang sudah ada selama ini, menyesuaikan kempali terhadap ketentuan izin
untuk memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil
pada UU No. 1 tahun 2014.
Demikian perubahan pasal yang terjadi pada UU No.27
tahun 2007 yang disempurnakan pada UU No.1 tahun 2014. Penjelasan umum mengenai perubahan UU ini
juga dimuat dalam UU No.1 tahun 2014. Penjelasan umum ini berisi penjelasan
alasan beberapa pasal yang dilakukan seperti penghapusan HP3 dan pengadaan izin
lokasi dan izin pengelolaan. Selngkapnya berikut isi penjelasan umumnya “Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung
jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan
umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanggung
jawab negara dalam melindungi rakyat Indonesia dilakukan dengan penguasaan
sumber daya alam yang dimiliki oleh negara, termasuk Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil selama ini belum memberikan kewenangan
dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan
pulau-pulau kecil melalui mekanisme pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
(HP-3). Mekanisme HP-3 mengurangi hak penguasaan negara atas Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga ketentuan mengenai HP-3 oleh
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keberadaan Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sangat
strategis untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan kesejahteraan Masyarakat yang
bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, dalam pelaksanaannya
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil belum memberikan hasil
yang optimal. Oleh karena itu, dalam rangka optimalisasi Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, negara bertanggung jawab atas Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam bentuk penguasaan kepada pihak lain
(perseorangan atau swasta) melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada
pihak lain tersebut tidak mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan
(beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan
(bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan
(toezichthoudensdaad). Dengan demikian, negara tetap menguasai dan mengawasi
secara utuh seluruh Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak
tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
mengakui dan menghormati Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang
bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai
dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Secara umum
undang-undang ini mencakup pemberian hak kepada masyarakat untuk mengusulkan
penyusunan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, serta
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; pengaturan
mengenai Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Setiap Orang dan Masyarakat
Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang melakukan
pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; pengaturan
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya; serta pemberian
kewenangan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.”
Catatan:
- Tulisan ini
mengacu pada UU No. 27 tahun 2007 dan UU No.1 tahun 2014.
- Terdapat
analisis penulis mengenai alasan perubahan UU yang terjadi dari UU No. 27 tahun
2007 ke UU No.1 tahun 2014.
wah blognya sangat menginspirasi saya nih bli. :3
ReplyDeleteapakah masih diterapkan pasal 71,72,73,dan 74 dalam undang-undang 27 tentang tinda pindana,,?
ReplyDelete