Thursday, February 19, 2015

Aspek Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir: Analisis Perubahan UU No. 27 tahun 2007 Menjadi UU No.1 Tahun 2014



Berbicara soal Pengelolaan Wilayah Pesisir, tidak bisa hanya membahas mengenai bagaimana cara membuat wilayah pesisir menjadi indah dan mempesona seperti Marina Bay yang ada di Singapur atau membahas bagaimana cara menghilangkan sampah di laut. Ada 1 aspek yang perlu diketahui setiap orang yang ingin melakukan pengelolaan wilayah pesisir, aspek tersebut yakni aspek Hukum. Aspek hukum diperlukan agar kita tahu apa saja yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, serta tahu dimana kita bisa berperan dalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir agar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
Pengelolaan Wilayah Pesisir sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 27 tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, namun kemudian ada perubahan mengenai UU No. 27 tahun 2007 yang dijelaskan dalam UU No. 1 tahun 2014.
Alasan mengenai kenapa dilakukan perubahan disebutkan  dalam UU No. 1 Tahun 2014 pada bagian “menimbang” point b,yakni dijelaskna bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Kalimat “belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab Negara secara memadai” perlu digaris bawahi. Artinya pasal UU No.1 Tahun 2013 dibuat untuk memperjelas kewenangan dan tanggung jawab Negara  didalam melakukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Adapun beberapa pasal pada Undang-Undang No.27 tahun 2007 yang disempurnakan pada Undang-Undang No.1 tahun 2014 yakni


1.      Pasal 1
     Pada pasal 1 ada beberapa angka yang diubah antara lain angka 1, angka 17, angka 18, angka 19, angka 23, angka 26, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44 diubah, dan di antara angka 18 dan angka 19 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 18A, serta di antara angka 27 dan angka 28 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 27A. Berikut penjelasan masing-masing angka yang mengalami perubahan.
Ayat 1: “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan,pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat” diubah menjadi “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”.
     Ada penambahan kata “pengkoordinasian” serta kata “dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah” . Hal ini digunakan untuk mempertegas bahwa  Pemerintah dan Pemerintah daerah berperan dalam proses pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ayat 17: Berisi penjelasan mengenai Rencana Zonasi Rinci. Pada UU No.27 tahun 2007 Rencana Zonasi Rinci dijelakan bisa diterbitkan oleh Pemerintah Daerah sedangkan pada UU No.1 tahun 2013, disempurnakan lagi yakni bahwa Rincian Zonasi Rinci dapat diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Berikut isi dari pasal 1 ayat 17 yang sudah disempurnakan “Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.”

Ayat 18: Pada UU No.27 tahun 2007 ayat 18 membahasa mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir yang selanjutnya disebut HP3, pada UU No.1 Tahun 2013, HP3 ini dihapuskan dan diganti menjadi Hak Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan yang diatur secara berturut-turut dalam pasal 1 ayat 18 dan ayat 18A. HP3 ini dihapuskan karena rentan terjadinya penyalahgunaan Hak, dan dimungkinkan adanya transaksi fiktif atas Perairan Pesissir. Selain itu Mekanisme HP-3 mengurangi hak penguasaan negara atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Ayat 19: Pada ayat 19 ini hanya terdapat sedikit penyempurnaan dibagian redaksional yakni kata “perlindungan” diganti menjadi “pelindungan”.

Ayat 23: Menjelaskan mengenai pengertian reklamasi, ada sedikit penyempurnaan pada ayat 23 ini, yakni sebelumnya kata “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang…” ditambahkan kata “Setiap” sebelum kata orang sehingga ayat 23 menjadi “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.”. Maksud penambahan kata “Setiap” ini dimaksudkan untuk memperjelas pelaku dari kegiatan reklamasi itu sendiri.

Ayat 26: Ayat 26 membahas mengenai bencana pesisir, adapun perubahan yang dilakukan yakni penambahan kata “Setiap” pada kalimat “Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.”

Ayat 27A: Pada UU No.1 Tahun 2013 ada penambahan ayat yakni ayat 27A yang sebelumnya tidak ada pada UU No. 27 tahun 2007. Ayat 27A ini membahas mengenai Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis.

Ayat 28: Membahas mengenai Pencemaran lingkungan, penyempurnaan yang dilakukan juga melakukan penambahan kata “Setiap” untuk memperjelas pelaku yang melakukan pencemaran lingkungan.

Ayat 29: Ayat 29 menjelaskna mengenai akreditasi. Penyempurnaan yang dilakukan bersifat redaksional, yakni kata “program-program” diubah menjadi “program” agar kalimat menjadi lebih efektif.

Ayat 30: Menjelaskan mengenai pemangku kepentingan utama. Terdapat penambahan kalimat “yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”. Penambahan ini tujuannya untuk memperjelas bahwa pemangku kepentingan utama adalah para pengguna sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selain itu, kata pesisir diakhir kalimat pada UU no.27 tahun 2007 dihapuskan. Kemudian diperjelas lagi bahwa pemangku kepentingan utama itu bisa tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat.

Ayat 31: Menjelaskan mengenai pemberdayaan masyaryakat, penyempurnaan yang dilakukan yakni kata “Masyarakat pesisir” diganti dengan “Masyarakat dan Nelayan Kecil”.

Ayat 32: Menjelaskan mengenai definisi masyarakat. Kata “Masyarakat adat” diganti menjadi “Masyarakat Hukum Adat” hal ini untuk menegaskan bahwa Masyarakat adat juga berlandaskan pada hukum. Selain itu juga juga, ditambahkan kata “masyarakat tradisional”, agar definisi masyrakat dalam Ayat 32 juga mencakup Masyarakat Tradisional.

Ayat 33: Awalnya berisi penjelasana mengenai Masyarakat adat kemudian diubah menjadi penjelasan mengenai Masyarakat Hukum Adat.

Ayat 38: Yang dimaksud setiap orang pada UU No.1 tahun 2014 diperinci lagi dan dijelaskan bahwa setiap orang yang dimaksud adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Ayat 44: Menjelaskan pengertian mengenai menteri, penyempurnaan yang dilakukan yakni pada UU No.1 tahun 2014 disebutkan bahwa Menteri merupakan sebagai penyelenggara urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, dan bukan hanya sekedar penanggung jawab.

2.      Pasal 14
Ayat 1: Pada ayat 1 penyempurnaan yang dilakukan yakni usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K yang sebelumnya hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan dunia usaha, setelah disempurnakan dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan dunia usaha.

Ayat 7: Pada UU No.27 tahun 2007, pasal 14 ayat 7 menyebutkan “Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, maka dokumen final perencanaan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud
diberlakukan secara definitive”. Selanjutnya pada UU No.1 Tahun 2014 diubah menjadi “Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara definitif.”. Terdapat penghapusan kata “maka” hal ini bersifat redaksional, agar kalimat lebih efektif dan efisien.

3.      Judul Bagian Kesatu pada Bab V diubah yang awalnya “Hak Pengusahaan Perairan Pesisir” diubah menjadi “Izin”. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir ini dihapuskan alasannya sama dengan pasal 1 ayat 18 yang juga dihapus bagian mengenai HP3 karena rentan terjadinya penyalahgunaan Hak, dan dimungkinkan adanya transaksi fiktif atas Perairan Pesissir.

4.      Pasal 16
Ayat 1 dan Ayat 2 pada pasal 16 diubah karena masih menggunakan HP3, selanjutnya pada pasal 16 Ayat 1 dan 2 diubah menjadi seperti berikut iI

Ayat 1: “Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi.”
Ayat 2: “Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan”.
     Pasal 16 ini disempurnakan untuk memperjelas kegunaan fungsi izin lokasi dan izin pengelolaan, selai itu juga untuk menghindari adanya penyalahgunaan dalam pemanfaatan Perairan Pesisir.


5.      Pasal 17
Pasal 17 yang sebelumnya juga berisi penjelasan mengenai HP3 juga diubah, dari 2 Ayat menjadi 4 Ayat pada UU No.1 Tahun 2014. Ke empat ayat tersebut berisi penjelasan mengenai Izin Lokasi, yang menekanakan bagaimana pemberian Izin Lokasi sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pemberian izin lokasi karena sudah diatur dengan jelas. Berikut penyempuranaan pasal yang dilakukan:
Ayat 1: “Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.”
Ayat 2: “Pemberian Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.”
Ayat 3: “Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.”
Ayat 4: “Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.”.

6.      Pasal 18
Pada UU No.27 tahun 2007 Pasal 18 masih menggunakan HP3 sehingga pasal 18 diubah, karena HP3 tidak sudah dihapuskan karena berpotensi menimbulkan penyalahgunaan Perairan Pesisir, selanjutnya pasal 18 menjelasakan mengenai Pemegang Izin Lokasi.

7.      Pasal 19
Pasal 19 juga masih menggunakan HP3 sehingga dilakukan perubahan, pasal 19 yang disempurnakan sebagai berikut:
Ayat 1: Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
a. produksi garam;
b. biofarmakologi laut;
c. bioteknologi laut;
d. pemanfaatan air laut selain energi;
e. wisata bahari;
f. pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
g. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam,
wajib memiliki Izin Pengelolaan
Ayat 2: “Izin Pengelolaan untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Ayat 3: Dalam hal terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

8.      Pasal 20
Pada UU No.27 Tahun 2007 Pasal 20 berisi:
Ayat 1: HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.
Ayat 2: HP-3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3.
Ayat 3:HP-3 berakhir karena:
a. jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang lagi;
b. ditelantarkan; atau
c. dicabut untuk kepentingan umum.
Ayat 4: Tata cara pemberian, pendaftaran, dan pencabutan HP-3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian pada UU No.1tahun 2014 pasal 20 diubah menjadi:
Ayat 1: Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional.
Ayat 2: Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional, yang melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

     Perubahan yang dilakukan yakni menghilangkan penggunaan HP3 pada pasal 20, kemudian dilakukan penambahan peran pemerintah dan pemerintah daerah mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan serta penerima Izin tersebut.

9.      Pasal 21
Pada pasal 21 dilakukan penghapusan aturan mengenai HP3 kemudian asal 21 diubah menajdi:
Ayat 1:  Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.
Ayat 2: Pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aturan ini ditambahkan agar pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan Peraiaran Pulau-Pulau Kecil dapat terlaksana dengan tepat.

10.  Pasal 22
Aturan mengenai HP3 diubah dengan aturan mengenai kewajiban memiliki izin dan Masyrakat Hukum Adat, semuanya diatur dalam Ayat 1 dan Ayat 2.

11.  Pasal 22A
Merupakan pasal yang baru ditambahkan, sebelumnya tidak ada pada UU No. 7 tahun 2014. Penambahan dilakukan agar izin lokasi yang diberikan tepat sasaran.

12.  Pasal 22B
Merupakan pasal yang baru ditambahkan, sebelumnya tidak ada pada UU No. 7 tahun 2014. Penambahan dilakukan agar orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan Izin Pengelolaan  memenuhi syarat teknis, administratif, dan operasional dalam mengajukan perijinan.

13.  Pasal 22C
Merupakan pasal yang baru ditambahkan, sebelumnya tidak ada pada UU No. 7 tahun 2014. Penambahan dilakukan agar ada kejelasan mengenai syarat, tata cara pemberian, pencabutan, jangka waktu, luasan, dan berakhirnya Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan.

14.   Pasal 23
Ayat 2: Menjelaskan mengenai pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya. Terdapat penambahan yakni pulau-pulau kecil dan perairan juga diperuntukan untuk pertahanan dan keamanan Negara.
Ayat 3: Membahas menganai konservasi, perunbahan yang dilakukan yakni jika digunakan untuk konservasi maka juga harus memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat.

15.  Pasal 26A
Merupakan basal yang baru ditambahkan sebelumnya tidak ada pada UU No.27 thaun 2007.  Berikut isi paalnya.
Ayat 1: Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri.
Ayat 2: Penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan kepentingan nasional
Ayat 3: Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari bupati/wali kota
Ayat 4: Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas;
b. menjamin akses publik;
c. tidak berpenduduk;
d. belum ada pemanfaatan oleh Masyarakat Lokal;
e. bekerja sama dengan peserta Indonesia;
f. melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia;
g. melakukan alih teknologi; dan
h. memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.
Ayat 5: Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan saham dan luasan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f dan huruf h diatur dengan Peraturan Presiden.
Penambahan pasal ini alasannya agar apabila terdapat modal asing yang melakukan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya, bisa lebih mengutamakan kepentingan nasional.


16.  Pasal 30
Membahas mengenai Zona Inti, terdapat penambahan ayat, pada UU No. 1 tahun 2014 terdapat 4 ayat. Pada Pasal 30 yang sudah disempurnakan terdapat peran menteri didalam pengelolaan Zona Inti.

17.  Pasal 50
Pasal 50 pada UU No. 27 tahun 2007 dijelaskan mengenai pemberian HP3, namun karena HP3 sudah dihapuskan maka pada UU no.1 tahun 2014, pemberian HP3 diubah menjadi pemberian izin lokasi yang dapat diberikan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota yang berwenang.

18.  Pasal 51
Terdapat perubahan pada pasal 51 karena masih menggunakan HP3 selanjutnya pada UU No. 1 tahun 2014,diubah menjadi sebagai berikut ini:
Ayat 1 Menteri berwenang:
a. menerbitkan dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang menimbulkan Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis terhadap perubahan lingkungan; dan
b. menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional.
Ayat 2: Ketentuan mengenai tata cara penerbitan dan pencabutan izin serta perubahan status zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal ini disempurnakan agar menteri mempunyai wewenang dalam pemberian izin lokasi dan perubahan status zona inti, sehingga lebih mudah bagi pemerintah untuk mengatur masalah perizinan.

19.  Pasal 60
Pada Ayat 1 dan Ayat 2 menjelaskan Hak dan Kewajiban Masyarakat dialam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada UU No.27 tahun 2007 bagian hak masyarakat masih menggunakan HP3, sehingga pada Pada UU No. 1 tahun 2014 HP3 diganti dengan izin lokasi dan izin pengelolaan.

20.  Pasal 63
Ayat 2 pada UU No 27 tahun 2007 menjelaskna “Pemerintah wajib mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berdaya guna dan berhasil guna.”. Kemudian disempurnakan menjadi “Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.”. Perubahan yang dilakukan agar pemerinta dan pemerintah daerah saling bekerja sama didalam mendorong kegiatan usaha masyarakat.

21.  Pasal 71
Pad UU No 27 tahun 2007 pasal 71 berisi aturan mengenai pelanggaran terhadapa HP3 dan sanksi administratifnya kemudian aturan ini diubah menjadi aturan mengenai pelanggrana terhadap izin lokasi dan izin pengelolaan beserta sanksi administratifnya. Hal ini dilakukan agar semua orang tidak melanggar ketentuan mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan.

22.  Pasal 75
Pasal 75 diubah karena masih menggunakan HP3, kemudian Pasal 75 yang sudah disempurnakan menjelaskan sanksi yang diberikan apabila melakukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa menggunakan izin lokasi. Berikut penjelasan pada pasal 75: “Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”. Pasal ini juga dibuat agar setiap orang menggunakan izin lokasi.

23.  Pasal 75A
Meruapakan pasal yang baru ditambahkan pada UU No.1 tahun 2014, sebelumnya tidak dijelaskan dalam UU No.27 tahun 2007. Pasal 75A berisi penjelasan mengenai sanksi apabila Setiap Orang yang memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Pengelolaan. Pasal ini dibuat agar setiap orang menggunakan izin pengelolaan dalam memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil.

24.  Pasal 78A
Merupakan pasal yang baru ditambakan pada UU No.1 tahun 2014, berikut isinya “Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan Menteri.” Pasal ini digunakan untuk memperjelas kewenangan menteri dalam mangatur kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
25.  Pasal 78B
Merupakan pasal yang baru ditambakan pada UU No.1 tahun 2014, berikut isinya: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, izin untuk memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang telah ada tetap berlaku dan wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun.”. Pasal ini dibuat agar izin yang sudah ada selama ini, menyesuaikan kempali terhadap ketentuan izin untuk memanfaatkan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada UU No. 1 tahun 2014.

Demikian perubahan pasal yang terjadi pada UU No.27 tahun 2007 yang disempurnakan pada UU No.1 tahun 2014.  Penjelasan umum mengenai perubahan UU ini juga dimuat dalam UU No.1 tahun 2014. Penjelasan umum ini berisi penjelasan alasan beberapa pasal yang dilakukan seperti penghapusan HP3 dan pengadaan izin lokasi dan izin pengelolaan. Selngkapnya berikut isi penjelasan umumnya “Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanggung jawab negara dalam melindungi rakyat Indonesia dilakukan dengan penguasaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara, termasuk Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil selama ini belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil melalui mekanisme pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Mekanisme HP-3 mengurangi hak penguasaan negara atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga ketentuan mengenai HP-3 oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keberadaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sangat strategis untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan kesejahteraan Masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan  hasil yang optimal. Oleh karena itu, dalam rangka optimalisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, negara bertanggung jawab atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam bentuk penguasaan kepada pihak lain (perseorangan atau swasta) melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak lain tersebut tidak mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad). Dengan demikian, negara tetap menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengakui dan menghormati Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Secara umum undang-undang ini mencakup pemberian hak kepada masyarakat untuk mengusulkan penyusunan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, serta Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; pengaturan mengenai Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Setiap Orang dan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; pengaturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya; serta pemberian kewenangan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.”

Catatan:
-  Tulisan ini mengacu pada UU No. 27 tahun 2007 dan UU No.1 tahun 2014.
-  Terdapat analisis penulis mengenai alasan perubahan UU yang terjadi dari UU No. 27 tahun 2007 ke UU No.1 tahun 2014.








2 comments:

  1. wah blognya sangat menginspirasi saya nih bli. :3

    ReplyDelete
  2. apakah masih diterapkan pasal 71,72,73,dan 74 dalam undang-undang 27 tentang tinda pindana,,?

    ReplyDelete