Memetakan sampah mungkin jarang terpikirkan dan jarang
juga dilakukan. Namun itulah yang saya lakukan pada hari selasa dan rabu tanggal 17 dan 18
Maret 2015. Intinya bukan memetakan
sampahnya, tapi membuat peta topografi di areal Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
yang isinya penuh dengan sampah yang membukit. Kegiatan ini bisa saya ikuti
karena ada kakak angkatan di Teknik Geodesi UGM yang masih peduli untuk memberi
pengalaman ke adik-adiknya, kakak-kakak tersebut yakni Mas Afradon Aditya (Geodesi
UGM 2010), Mas Guge Faizal (Geodesi UGM 2010),Mas Brilyan (Teknik Geodesi UGM 2010)
dan Mas Fajar Sidiq (Teknik Geodesi UGM 2010). Perlu lebih banyak kakak
angkatan yang keren seperti ini. Peta topografi yang dihasilkan ini nantinya
diserahkan ke Dinas Pekerjaan Umum (PU) yang memesan petanya.
Lokasi TPA yang dipetakan yakni TPA Piyungan, tidak jauh
dari kampus UGM, sekitar 45 menit jika ditempuh dengan motor. Pengukuran
ini berlangsung selama 2 hari dan tepat
diwaktu kuliah. Terpaksa saya harus menggunakan jatah boloh kuliah saya, tentu
saja untuk mendapat pengalaman baru dan belajar yang lain, yang tidak akan
ditemukan dibangku kuliah. Kenapa tidak? Tentu saja karena tidak ada praktikum
yang akan menyuruh mahasiswa untuk mengukur di TPA. Kesempatan seperti ini
harus diambil. Begitu sampai dilokasi pengukuran saya cukup kaget, pemandangan
ini yang saya lihat.
Dilokasi
TPA Piyungan terdapat puluhan, bahkan mungkin lebih dari 100 sapi yang bebas
lepas mencari makan di gundukan sampah-sampah yang ada. Makanan sapi disini
adalah sampah-sampah yang mungkin berisi sisa-sisa makanan yang kita makan.
Entah sehat atau tidak, namun rasanya saya tidak akan memakan daging sapi, jika
tau sapinya makan-makanan sampah ini.
Kembali
ke proses pengukuran, pengukuran kali ini menggunakan Total Sation, dan
terdapat 4 prisma pole. Yang diukur adalah berupa batas wilayah TPAnya dan
titik tinggi (Spot High) sehingga nantinya terlihat kontur yang dibentuk oleh gundukan-gundukan sampah.
Mungkin terlihat sederhana mengukur gundukan sampah, tapi coba lihat jika
gundukannya setinggi ini:
Tantangan
lainnya dalam pengukuran kali ini yakni aroma sampahnya, bisa dibayangkan
senidiri ada sampah dari berbgai jenis, kering, basah, setangah basah, agak
basah, dan lain-lain, serta ditambahkan lagi kotoran sapi bercampur aduk
menjadi satu. Dan diatas itulah saya dan tim melakukan pemetaan.
Tentunya sudah dilengkapi peralatan kemanan, mulai dari sepatu boot, helm proyek, masker, dan rompi ukur. Kemudahan yang ada saat mengukur di TPA yakni lokasinya yang terbuka, sehingga tidak ada halangan didalam membidik prisma pole. Namun apa konsekwensi jika lokasinya terbuka? Jika cuaca sedang panas, panasnya langsung menumbus kulit, walau sudah memakai pakaian lengan panjang tetap saja panasnya sangat terasa. Mengukur sambil berbekal 2 botol minuman, saking panasnya, tidak sampai jam 11 minumannya sudah habis. Sebenarnya agak tidak nyaman minum diantara sampah-sampah dan kotoran, tapi karena saking panasnya, bau-bau yang ada pun terlupakan. Pembagian tugas dalam pengukuran kali ini cukup baik, diawal pengukuran Mas Guge yang memegang alat, sisanya memegang pole menyebar kemana-mana, selanjutnya saling bergiliran memegang alat.
Mengukur
lokasi yang luasnya kurang lebih 10 hektar, bisa selesai dalam waktu 2 hari
bagi saya itu cukup cepat. Maklum saat kemah kerja lokasi 10 Hektar diberi
waktu mengukur selama 1 minggu. Ternyata ada tips dan trick mengukur yang baru
saya peroleh dari Mas Afradon saat pengukuran ini, kuncinya adalah melihat
TORnya lebih jeli lagi. Kadang tidak semua pengukuran mensyaratkan hasil yang
sangat teliti dan data yang sangat rapat.
Selain
lokasi TPA yang bau, tantangan yang ada saat menukur di TPA yakni terrainya
yang berbukit. Sampah yang menumpuk tidak kalah jauh lah mungkin dengan batu
bara di pertambangan, jika mengukurnya sudah benar, konturnya akan terlihat
sangat bagus. Bedanya jika ditambang batu bara mungkin lebih panas, sedangkan
di TPA lebih bau. Setidaknya pengukuran kali ini memeberi gambaran bagi saya
bagaimana nanti jika harus mengukur tumpukan batu bara jika menggunakan Total
Station.
Mengukur
di TPA ini juga perlu lebih berhati-hati. Terdapat genangan air yang tertutup
sampah, sehingga tidak terlihat seperti genangan air. Dan akhirnya Mas Brily pun terkena “jackpot”, dia tidak sengaja menginjak genangan air, sehingga salah
satu kakinya, mulai dari lutut kebawah masuk ke kubngan air. Jangan tanya bau
kubangannya seperti apa, silahkan datang sendiri dan hirup nikmat aromanya.
Pelajaran
diluar pengukuran yang saya ambil di TPA Piyungan yakni ketika truk pengankut
sampah datang dan menurunkan sampah, tidak hanya sapi-sapi yang akan mendekat,
tapi warga disanapun yang menumpulkan sampah plastik berdatangan dan
memilah-milah sampah yang ada. Aroma bau mungkin merupakan hal-hal yang sudah
biasa bagi sebagian besar Ibu-Ibu yang memilah-milah sampah di tempat itu.
Saat
itu juga saya merasa diingatkan untuk tetap bersyukur bisa mendapat pendidikan
sampai saat ini ditempat yang sangat layak dan bagus seperti UGM, tidak
terbayang jika saya lahir didekat lokasi TPA ini mungkin juga ikut bekerja
memilh-milah sampah.
Mungkin
itu yang bisa saya sampaiakan dalam pengalaman kali ini. Bahkan ditempat yang
kotor dan agak baupun, keilmuan Geodesi masih diperlukan. Kata salah seorang
rekan saya, selama Bumi masih ada, selama itu ahli Geodesi diperlukan. Dan
terakhir, terimakasih sekali lagi saya ucapkan kepada Mas Adon, Mas Brili, Mas
Guge dan Mas Fajar atas pengalama yang sudah diberikan. Berikut ada foto bagaimana
ekspresi surveyor kalau pengukuran sudah selesai dilakukan:
No comments:
Post a Comment